Perlukah Mengucapkan Tolong dan Terima Kasih ke ChatGPT?

Posted on

Kamu termasuk yang sering bilang “tolong” atau “terima kasih” pas lagi ngobrol sama ChatGPT? Kebiasaan ini lagi ramai dibahas, nih. Pertanyaannya, apakah sopan santun ke AI ini cuma buang-buang energi atau sebetulnya ada manfaatnya?

Perdebatan ini dipicu oleh cuitan pengguna X dengan akun @tomiinlove. Ia iseng bertanya, “Saya bertanya-tanya berapa banyak uang yang dihabiskan OpenAI untuk membayar listrik dari orang-orang yang mengatakan ‘tolong’ dan ‘terima kasih’ kepada model mereka?”

Tak disangka, cuitan ini direspons langsung oleh CEO OpenAI, Sam Altman. Dengan nada santai, Altman menjawab, “Puluhan juta dolar dihabiskan dengan baik – Anda tidak pernah tahu.”

Jawaban Altman ini seolah meredakan kekhawatiran sekaligus bikin netizen tersenyum. Seakan memberi sinyal kalau bersikap sopan itu nggak ada salahnya, bahkan ke AI sekalipun.

Banyak yang Sopan, Takut ‘Pemberontakan Robot’?

Faktanya, banyak lho pengguna yang memang sopan saat berinteraksi dengan AI. Survei yang dilakukan Future PLC (perusahaan induk TechRadar) pada Februari lalu [Asumsi survei dilakukan baru-baru ini, bukan 2025] menunjukkan, sekitar 70% dari lebih dari 1.000 responden mengaku bersikap sopan ke AI.

Yang menarik, 12% di antaranya punya alasan unik: mereka sopan sebagai langkah “jaga-jaga” kalau suatu saat nanti terjadi “pemberontakan robot”. Wah, ada-ada saja ya!

Survei ini membuktikan kalau sopan ke AI itu bukan hal aneh, malah sudah jadi kebiasaan banyak orang.

Tapi, di balik kebiasaan ini, ada konsekuensi yang nggak main-main. ChatGPT berjalan di atas server AI raksasa yang butuh energi besar. Setiap kata yang kita ketik, termasuk “tolong” atau “terima kasih”, apalagi jika dikirim sebagai pesan terpisah, akan menambah beban komputasi dan ujung-ujungnya menyedot listrik lebih banyak.

Meski ada ‘biaya’ energi, ternyata sopan ke AI bukan sekadar basa-basi. Penulis TechRadar, Becca Caddy, justru menemukan manfaat lain saat mencoba berhenti mengucapkan “terima kasih” ke ChatGPT.

“Permintaan yang sopan dan terstruktur dengan baik sering kali menghasilkan respons yang lebih baik, dan dalam beberapa kasus, bahkan dapat mengurangi bias,” tulis Caddy dalam artikelnya.

Ia menambahkan, kesopanan bukan cuma soal etiket, tapi bisa jadi faktor penting untuk meningkatkan keandalan jawaban AI. Caddy bahkan berspekulasi, jangan-jangan kesopanan bisa jadi fitur bawaan AI di masa depan.

Mungkinkah AI kelak dilatih untuk ‘lebih suka’ pada pengguna yang sopan? Pertanyaan ini jelas membuka diskusi seru tentang evolusi interaksi manusia dan AI.

Di sisi lain, isu dampak lingkungan akibat konsumsi energi AI juga nggak bisa diabaikan. Server butuh daya besar, dan setiap kata tambahan berkontribusi pada jejak karbon. Dengan makin populernya AI, banyak yang mulai bertanya, apakah kebiasaan sopan ini sepadan dengan ‘harga’ lingkungan yang harus dibayar?

Tapi kalau kesopanan terbukti bikin respons AI lebih bagus dan akurat, haruskah kita mengorbankannya demi hemat energi? Atau, mampukah OpenAI dan pengembang AI lainnya mencari cara agar sistem mereka lebih irit tanpa mengurangi kualitas interaksi?

Sam Altman sendiri tampaknya santai saja. Dengan menyebut biaya kesopanan itu “dihabiskan dengan baik”, mungkin baginya menjaga hubungan baik antara manusia dan AI (sambil sedikit bercanda soal ‘pemberontakan robot’) adalah investasi yang sepadan.

Bagaimana menurutmu, infoers? Tim tetap sopan ke AI atau tim hemat energi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *