Wacana aturan satu orang satu akun media sosial dinilai penerapannya tidak akan mudah. Di sisi lain, kebijakan tersebut berpotensi membatasi kebebasan berekspresi pengguna internet.
Satu orang satu akun medsos bertujuan untuk memerangi akun anonim dan peredaran hoaks di internet dan usulan itu saat ini tengah dikaji oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
“Membatasi seseorang hanya memiliki satu akun media sosial memang terdengar menarik jika tujuannya untuk mengurangi penyalahgunaan, seperti hoaks, penipuan atau akun palsu. Namun, dalam praktiknya hal ini tidak sederhana,” ujar Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi kepada infoINET, Selasa (23/9/2025).
Heru menjelaskan bahwa media sosial adalah ruang ekspresi, tempat orang bisa memisahkan identitas pribadi, profesional, hingga komunitas. Banyak orang sengaja membuat akun berbeda untuk melindungi privasi atau menyalurkan hobi tertentu.
“Jika aturan satu orang satu akun dipaksakan, bisa saja justru mengekang kebebasan berekspresi dan mempersulit aktivitas digital yang sah. Tantangannya juga ada pada bagaimana memverifikasi identitas tanpa melanggar perlindungan data pribadi,” tuturnya.
Lebih lanjut, mantan komisioner BRTI ini mengungkapkan hal yang lebih realistis bukan membatasi jumlah akun seseorang, melainkan memperkuat regulasi dan sistem verifikasi agar penyalahgunaan bisa ditekan, seiring dengan hal itu tetap menjaga kebebasan dan kenyamanan pengguna.
“Jadi, solusi sebaiknya menyeimbangkan antara keamanan, privasi dan kebebasan digital,” kata Heru.
Menurut Heru, pemerintah lebih baik memperkuat regulasi soal media sosial, di mana ini bisa dilakukan tanpa harus membatasi jumlah akun yang dimiliki seseorang. Ia menggambarkan idenya seperti platform perlu diwajibkan memiliki sistem verifikasi yang lebih baik, misalnya dengan nomor telepon atau identitas digital, sehingga pemilik akun tetap bisa ditelusuri bila ada pelanggaran.
“Kemudian, regulasi harus menekankan transparansi di mana platform wajib cepat menindak laporan akun palsu, penipuan atau ujaran kebencian. Pemerintah juga bisa mendorong adanya standar perlindungan data yang ketat agar proses verifikasi tidak malah membuka celah penyalahgunaan informasi pribadi,” ucap Heru.
Di sisi lain, literasi digital masyarakat Indonesia juga bagian penting dari regulasi, karena aturan tanpa edukasi akan sulit berjalan.
“Jadi penguatan regulasi tidak semata soal membatasi, melainkan menciptakan ekosistem digital yang aman, transparan, dan adil dengan tetap menghormati kebebasan berekspresi warga,” pungkasnya.