Ada tiga kasus besar yang terjadi di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang kini berubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Dari ketiga kasus tersebut tak hanya pegawai saja yang ditetapkan sebagai tersangka, tapi juga sampai ke level dirjen, direktur utama, hingga menteri. Satu kasus terjadi saat kementerian ini bernama Kominfo dan dua kasus ketika Meutya Hafid menjadi Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi).
1. BTS 4G
Tepat dua tahun lalu di bulan Mei 2023, publik dihebohkan dengan pemberitaan penetapan tersangka Johnny G. Plate yang saat itu menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Ia ditahan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali dalam kasus korupsi korupsi dalam penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2020-2022.
Kasus yang menjerat Johnny ini bermula proyek penyediaan infrastruktur telekomunikasi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) agar akses internet merata melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti). Total sebanyak 7.904 BTS 4G yang seharusnya dibangun yang terbagi dalam dua tahap, yakni fase pertama di 4.200 BTS pada 2021 dan fase kedua di 3.704 BTS pada 2022.
Namun, dalam pelaksanaan perencanaan dan pelelangan, terbukti bahwa para tersangka telah merekayasa dan mengkondisikan sehingga di dalam proses pengadaannya tidak terdapat kondisi persaingan yang sehat sehingga pada akhirnya diduga terdapat kemahalan harga yang harus dibayar oleh negara.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan penyidikan kasus korupsi ini menyimpulkan ada kerugian negara sebesar Rp 8.032.084.133.795 (triliun).
Dalam kasus korupsi BTS 4G ini, Kejagung menetapkan belasan tersangka, mulai dari Menkominfo Johnny G Plate, Direktur Utama Bakti Anang Latif, Anggota BPK Achsanul Qosasi, Tenaga Ahli Kominfo, Pegawai Bakti, hingga mitra swasta, seperti Direktur Utama Moratelindo Galumbang Menak, Mukti Ali selaku Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment, sampai Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy.
2. Pegawai Beking Judol
Upaya pemberantasan judi online terus dilakukan berbagai pihak, termasuk pemerintah. Mirisnya, pegawai Kementerian Kominfo yang semestinya memblokir situs haram itu justru menyalahgunakan kewenangannya sampai mendapatkan imbalan finansial.
Kantor Komdigi mendadak ramai dipenuhi aparat kepolisian di awal November 2024. Polda Metro Jaya menggeledah kantor Komdigi di tiga lantai, yakni lantai 2, 3, dan 8. Hasilnya ada barang bukti yang disita berupa laptop tiap tersangka yang merupakan pegawai Komdigi.
Penggeledahan tersebut usai terungkapnya pegawai Komdigi yang seharusnya memblokir situs judi online malah membiarkannya dan meraup untung dari penyalahgunaan wewenang tersebut.
Sehari setelah penangkapan pegawai Komdigi, Menkomdigi Meutya Hafid mengeluarkan instruksi Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 2 Tahun 2024 terkait Upaya Mendukung Penegakan Pemberantasan Judi Online di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Meutya menginstruksikan seluruh pegawai Kemkomdigi untuk melaksanakan dan menaati Pakta Integritas tentang Pemberantasan Kegiatan Perjudian Daring (online). Pakta integritas itu berisi penolakan segala bentuk aktivitas perjudian daring baik di dalam maupun luar kedinasan yang telah ditandatangani oleh pegawai sejak Juli 2024.
Dalam perkembangannya, Polisi memperlihatkan barang bukti terkait kasus mafia akses judol Komdigi dengan menyita yang lebih dari Rp 76 miliar dengan melibatkan 24 tersangka.
“Total penyidik telah menangkap 24 orang tersangka dan menetapkan 4 orang sebagai DPO,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto dalam konferensi pers, Senin (25/11/2024).
Adapun peran dari tiap tersangka adalah 4 orang sebagai bandar atau pengelola website judi, yaitu A, BN, HE, dan J (DPO). Selain itu, 7 orang lainnya berperan sebagai agen pencari website judi online, yakni berinisial B, BS, HF, BK, JH (DPO), F (DPO), dan C (DPO).
Polisi mengungkap ada juga yang berperan sebagai pengepul list website judol sekaligus penampung duit setoran dari agen. Masing-masing mereka berinisial A alias M, MN, dan juga DM. Ada juga tersangka AK dan AJ yang bertugas memverifikasi website judi online agar tidak diblokir.
“Dua orang memfilter memverifikasi website judi online agar tidak terblokir inisial AK dan AJ,” ujarnya.
Lebih lanjut, polisi mengungkap ada 9 orang oknum pegawai Komdigi masing-masing berinisial DI, FD, SA, YR, YP, RP, AP, RD, dan RR yang berperan melakukan pemblokiran.
Selain itu, dua orang berinisial D dan E berperan dalam melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Terakhir, satu orang berinisial T berperan merekrut para tersangka.
“Satu orang merekrut dan mengkoordinir para tersangka, khususnya tersangka M alias A, AK, dan AJ, sehingga mereka memiliki kewenangan menjaga dan melakukan pemblokiran website judi T,” tuturnya.
3. Korupsi Pusat Data Nasional Sementara
Terbaru, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) menetapkan lima tersangka kasus dugaan korupsi Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2020-2024.
Kajari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra mengatakan kelima tersangka itu di antaranya Semuel Abrijani Pangerapan (SAP), Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan Kementerian Komunikasi dan Informatika periode 2016-2024; lalu Bambang Dwi Anggono (BDA), selaku Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah Pada Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan Kemenkominfo periode 2019-2023.
“Berikutnya, tersangka ketiga Saudara Nova Zanda atau NZ, selaku penjabat membuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang atau jasa dan Pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 sampai dengan 2024,” kata Safrianto dalam jumpa pers di Kejari Jakpus, Kamis (22/5).
Salah satu yang membuat kegeraman publik adalah ketika Kejari Jakpus Safrianto Zuriat Putra dalam keterangan pers resmi menyebut soal potensi kerugian negara bisa mencapai ratusan miliar. Hal ini termasuk uang suap Rp 11 miliar untuk 2 pejabat Kominfo.
Kemudian, tersangka keempat adalah Alfi Asman (AA) selaku Direktur Bisnis PT Aplika Nusa Lintas Arta periode 2014-2023 dan tersangka kelima Pini Panggar Agusti (PPA) selaku Account Manager PT Dokotel Teknologi (2017-2021).
Dalam kasus ini, Safrianto menegaskan kerugian negara masih dihitung. Penghitungan itu dilakukan oleh ahli keuangan negara atau auditor negara di BPKP bersama penyidik.
“Pada hari ini kami luruskan berdasarkan perhitungan sementara oleh penyidik diperoleh fakta kerugian keuangan negara dalam jumlah ratusan miliar. Untuk angka pastinya, belum dapat kami sampaikan pada teman-teman media dan masyarakat karena sedang dilakukan perhitungan,” ungkapnya.
Sebelumnya, penyidik telah menggeledah sejumlah tempat terkait kasus itu yang berlokasi di Tangerang Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur, yaitu di PT STM (BDx Data Center), kantor PT AL, gudang/warehouse PT AL, serta di rumah saksi yang diduga terkait dengan perkara itu.
Adapun pada Juni 2024 layanan publik pemerintah tidak bisa diakses karena terkena serangan ransomware ke PDNS 2. Butuh waktu berbulan-bulan kemudian untuk memastikan layanan kembali normal. Dalam penyelidikan, Kejari Jakpus pun mengatakan serangan ransomware itu karena salah satunya penyebabnya karena korupsi PDNS.