Teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek, termasuk jadi sistem peringatan dini gempa bumi berbasis Distributed Acoustic Sensing (DAS) atau Penginderaan Akustik Terdistribusi. Inovasi ini dinilai cocok bagi Indonesia yang berada di wilayah cincin api yang rawan akan gempa bumi.
Sistem teknologi kebencanaan tersebut memanfaatkan infrastruktur jaringan kabel optik bawah laut milik Telkom sebagai komponen utama dalam mendeteksi aktivitas seismik secara real-time. Inovasi ini dipandang sebagai terobosan strategis dalam mitigasi bencana geologi, khususnya dalam menghadapi potensi gempa megathrust.
“Teknologi ini memberikan solusi yang cepat, presisi, dan mampu menjangkau area rawan yang selama ini minim pemantauan,” ujar Kuwat Triyana, selaku anggota tim peneliti dikutip dari pernyataan tertulisnya.
Kuwat menjelaskan bahwa detektor gempa berbasis DAS ini bekerja dengan mendeteksi gelombang primer (P-wave) yang muncul lebih awal dibandingkan gelombang sekunder (S-wave) yang bersifat merusak. Keunggulan itu membuat sistem dapat memberikan peringatan beberapa info hingga menit sebelum guncangan utama terjadi, memberikan waktu yang sangat krusial untuk evakuasi dini.
Bahkan, pemrosesan data dilakukan secara real-time dan terintegrasi dengan sistem geospasial, memungkinkan respons kebencanaan yang lebih cepat dan terkoordinasi.
“Sistem ini tentunya merupakan bentuk pemanfaatan teknologi digital untuk pengurangan risiko bencana secara konkret dan berkelanjutan,” jelas Kuwat.
Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah menjelaskan kolaborasi antara UGM dan Telkom memiliki arti strategis tidak hanya dari sisi mitigasi bencana, tetapi juga dalam konteks perlindungan infrastruktur nasional.
Disampaikan Ririek, penggunaan kabel optik sebagai elemen deteksi juga dapat meningkatkan ketahanan aset nasional yang vital dari berbagai risiko alam. Lebih lanjut, kerja sama ini diharapkan mampu memperkuat urgensi pengembangan sistem DAS sebagai bagian dari inisiatif berkelanjutan dalam mendukung resiliensi nasional, baik dalam bidang teknologi maupun keamanan informasi.
“Kolaborasi ini sangat penting. Selain memberikan manfaat besar dalam penguatan sistem peringatan dini kebencanaan, teknologi ini juga memiliki potensi strategis untuk mendukung pengamanan aset kabel optik bawah laut Telkom,” ujarnya.
Keberadaan sistem DAS ini memungkinkan efisiensi besar karena memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, yakni kabel optik bawah laut yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Jalur kabel ini melintasi berbagai zona subduksi aktif di wilayah selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan pantai barat Sumatra.
“Tanpa perlu pemasangan sensor baru, sistem ini dapat menjangkau area laut dalam yang sebelumnya belum tercakup oleh sistem peringatan konvensional,” katanya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama UGM, Danang Sri Hadmoko menyakini bahwa sinergi antara kampus dan industri adalah kunci dalam menciptakan inovasi teknologi yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Menurut Danang, teknologi DAS yang sedang dikembangkan bersama ini tidak hanya menjadi solusi dalam mitigasi bencana, tetapi juga mencerminkan komitmen UGM dalam membangun sistem kebencanaan yang inklusif dan berbasis data.
“Kami melihat potensi besar sistem ini untuk diterapkan di berbagai wilayah rawan bencana di Indonesia, termasuk wilayah pesisir yang selama ini paling rentan,” tutur Danang.
Sebagai kelanjutan dari uji coba teknologi yang sedang berjalan, UGM tidak hanya berperan sebagai pusat pengembangan riset, tetapi juga sebagai penggerak utama dalam menghadirkan solusi kebencanaan yang berpijak pada kebutuhan masyarakat.
Seperti diketahui, alat deteksi gempa menggunakan sistem DAS ini tengah dalam tahap uji coba di kawasan Pantai Selatan Jawa dan direncanakan untuk diperluas ke daerah lain yang berisiko tinggi. Uji coba ini tidak hanya menguji efektivitas teknologi, tetapi juga membangun fondasi untuk integrasi ke dalam sistem peringatan publik nasional.
Selain itu, UGM dan Telkom saat ini sedang menyusun protokol kolaboratif untuk memungkinkan data digunakan secara terbuka bagi kepentingan riset dan kebijakan publik. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat sistem nasional dalam menghadapi bencana secara lebih terpadu dan responsif.