Wintechmobiles.com – Gagasan merakit iPhone sepenuhnya di Amerika Serikat kembali mencuat di tengah kebijakan “tarif impor” yang didukung pemerintahan Trump. Gedung Putih mengklaim AS memiliki tenaga kerja dan sumber daya untuk memproduksi iPhone di dalam negeri. Namun, para analis yang memahami operasi Apple menilai langkah ini akan sangat mahal dan rumit secara logistik.
Saat ini, Apple memproduksi lebih dari 80% perangkatnya di China melalui kontraktor seperti Foxconn. Memindahkan ekosistem produksi raksasa ini ke AS membutuhkan waktu, investasi besar, dan stabilitas kebijakan-tanpa jaminan keberhasilan. Salah satu tantangan utama adalah biaya tenaga kerja.
Di China, pekerja Foxconn dilaporkan berpenghasilan sekitar USD 3,63 (Rp 61 ribu) per jam selama peluncuran iPhone 16, sementara upah minimum di California mencapai USD 16,50 (Rp 277 ribu) per jam. Menurut analis Bank of America Securities, Wamsi Mohan, kesenjangan upah ini bisa menaikkan harga iPhone 16 Pro sebesar 25%, dari USD 1.199 (Rp 20,1 juta) menjadi sekitar USD 1.500 (Rp 25 juta).
Sementara itu, analis Wedbush, Dan Ives, memprediksi angka lebih ekstrem, dengan harga iPhone buatan AS mencapai USD 3.500 (Rp 58,7 juta). Ia memperkirakan Apple perlu menggelontorkan USD 30 miliar selama tiga tahun hanya untuk memindahkan 10% rantai pasokannya ke AS.
Selain biaya tenaga kerja, Apple akan menghadapi tarif impor pada komponen utama seperti layar dari Korea Selatan dan prosesor dari TSMC di Taiwan. Mohan memperingatkan, jika tarif Trump diterapkan penuh, harga iPhone 16 Pro Max buatan AS bisa melonjak hingga 91%.
Keterbatasan tenaga kerja terampil di AS juga menjadi hambatan. CEO Apple, Tim Cook, pernah menyatakan kekurangan teknisi di AS sebagai kendala signifikan, berbeda dengan China yang memiliki jumlah tenaga ahli melimpah.
Sejarah menunjukkan tantangan serupa. Upaya Foxconn membangun pabrik di Wisconsin senilai USD 10 miliar diharapkan dapat menciptakan 13.000 lapangan kerja. Pada akhirnya, pabrik tersebut tidak memproduksi satu pun produk inti Apple, dan beralih ke produksi masker wajah selama pandemi. Hingga saat ini, pabrik tersebut hanya memiliki sekitar 1.454 lapangan kerja, dan fasilitas tersebut bahkan belum 100% siap.
Ekspansi Apple sebelumnya ke Brasil juga gagal melokalisasi produksi iPhone sepenuhnya. Meskipun pabriknya bernilai USD 12 miliar, Apple masih harus mengimpor sebagian besar komponen dari Asia. Pada tahun 2015, iPhone buatan Brasil harganya hampir dua kali lipat dari iPhone buatan China.
Meski produksi iPhone massal di AS sulit terwujud, analis Morgan Stanley, Erik Woodring, menilai Apple mungkin akan memproduksi aksesori seperti HomePod atau AirTags dalam skala kecil di AS untuk mendapatkan keringanan tarif. Apple juga telah menunjukkan komitmen investasi di AS, termasuk USD 500 miliar untuk proyek seperti produksi server AI di Houston dan komponen semikonduktor di Arizona bersama TSMC.
Namun, memindahkan seluruh rantai pasokan iPhone ke AS dinilai sebagai misi yang hampir mustahil. “Ini akan memakan waktu bertahun-tahun, jika memungkinkan,” ujar Mohan seperti dikutip dari CNBC.
Strategi Apple tampaknya tetap berfokus pada negosiasi dengan pemerintahan Trump, seperti yang berhasil dilakukan pada 2019 saat memproduksi Mac Pro di Texas, untuk menjaga harga kompetitif dan menghindari tarif besar-besaran.
Dengan semua tantangan ini, konsumen di Negeri Paman Sam mungkin harus bersiap membayar jauh lebih mahal untuk iPhone “Made in USA”-jika itu pernah terwujud.