Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi menggandeng 35 organisasi dan asosiasi masyarakat dalam upaya besar memperkuat literasi digital nasional. Kerja sama ini menjadi salah satu gerakan kolaboratif terbesar yang pernah dilakukan pemerintah untuk menghadapi ancaman keamanan digital, misinformasi, eksploitasi anak, hingga risiko teknologi baru seperti AI generatif.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendirian mengingat skala dan kecepatan tantangan digital yang berkembang di Indonesia. Menurutnya, edukasi digital hanya akan efektif jika dilakukan bersama komunitas yang memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat.
“Edukasi digital tidak akan berhasil jika hanya dijalankan pemerintah. Yang paling dekat dengan masyarakat adalah komunitas. Ini bukan sekadar kepercayaan, ini penugasan,” ujarnya dalam penandatanganan MOU di Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Indonesia kini memiliki lebih dari 220 juta pengguna internet dengan sekitar 60% di antaranya merupakan anak muda. Mereka adalah kelompok paling aktif sekaligus paling rentan terhadap berbagai kejahatan digital, mulai dari eksploitasi seksual online, perundungan, judi online, hingga manipulasi informasi.
Komdigi mencatat sudah menurunkan lebih dari 3 juta konten negatif, tetapi laju pertumbuhan konten berbahaya berjalan jauh lebih cepat. Karena itu, menurut Meutya, jangkauan komunitas dan organisasi masyarakat menjadi faktor penting untuk memastikan edukasi digital dapat menjangkau hingga akar rumput.
“Hanya dengan itu, ujung akhirnya akan berhasil. Karena kalau pendekatan hanya sekali lagi melalui teknologi, kita tidak akan menuju kepada ekosistem yang lebih baik,” ujarnya.
Dalam laporannya, Direktur BPSDM Komunikasi dan Digital, Bonifasius Wahyu Pujianto, menegaskan bahwa ruang digital bergerak lebih cepat daripada siklus regulasi. Ia menjelaskan bahwa pemerintah membutuhkan mekanisme co-creation, yaitu kerja bersama antara pemerintah, komunitas, akademisi, dan industri untuk mengembangkan modul literasi digital yang adaptif.
Bonifasius menekankan bahwa MOU dengan 35 organisasi bukan sekadar seremoni, melainkan kesepakatan operasional yang berlaku selama tiga tahun. Ia mengatakan bahwa dokumen kerja sama ini memberi ruang lebar untuk pembaruan modul edukasi, penguatan keamanan digital anak dan remaja, antisipasi risiko deepfake dan AI generatif, serta kampanye melawan hoaks, judi online, dan konten berbahaya lainnya.
“Ini bukan titik akhir, tetapi gerbang menuju kerja yang lebih luas, lebih inklusif, dan lebih berdampak,” tegasnya.
Dalam 1-2 bulan pertama, Komdigi menargetkan seluruh organisasi bergerak serentak dalam penyelenggaraan pelatihan literasi digital, edukasi keamanan akun dan privasi, kampanye anti-hoaks dan anti-judi online, serta pendampingan penggunaan internet aman untuk anak. Selain itu, Komdigi juga menyiapkan peningkatan kapasitas bagi guru, ibu, mahasiswa, serta kelompok rentan, termasuk penyusunan modul baru untuk mengantisipasi risiko teknologi yang kian cepat berubah.
Meutya menegaskan bahwa komunitas memiliki keunggulan yang tidak bisa digantikan pemerintah, seperti jangkauan hingga pelosok, penggunaan bahasa lokal, pendekatan budaya setempat, serta metode peer-to-peer yang lebih mudah diterima anak muda. Menurutnya, gerakan literasi paling efektif adalah ketika pesan disampaikan oleh orang-orang terdekat dan relevan dengan kehidupan masyarakat setempat.
Lebih lanjut disampaikan kolaborasi nasional menjadi kunci dalam menyelamatkan generasi digital Indonesia. Transformasi digital adalah pilar pembangunan, tetapi tidak akan berhasil tanpa literasi digital yang kuat dan kerja sama yang panjang.
“Ini saat yang tepat sebelum terlambat. Mari bergerak cepat bersama untuk menyelamatkan generasi digital Indonesia,” tutup Meutya.
Daftar 35 Organisasi dan Asosiasi Digandeng Komdigi









