XL Smart Telecom atau XLSmart, hasil merger XL Axiata dan Smartfren, mencatat kerugian bersih sebesar Rp 1,22 triliun pada semester I-2025 karena lonjakan di hampir semua jenis beban, mulai dari beban penyusutan, infrastruktur, penjualan dan pemasaran, interkoneksi, dan beban langsung lainnya.
Direktur & Chief Regulatory Offier XLSmart, Merza Fachys menyebutkan, hal ini wajar karena terkait langsung dengan proses integrasi. Peningkatan beban operasional memang menjadi tantangan utama di tengah capaian pertumbuhan pendapatan pascamerger.
“Ini margin tahun pertama. Biayanya banyak, integrasi, benerin network, ngatur ini dan itu. Biayanya tinggi. Dan kita sepakat tahun pertama kita beresin dulu seluruh integrasi untuk membenahi, agar segera nanti bisa take off dengan baik,” kata Merza ditemui di sela acara media gathering Fun Bowling XLSmart, di Spin City, Jakarta Pusat, Kamis (18/9).
Ia menegaskan bahwa integrasi jaringan, konsolidasi komersial, serta penyatuan budaya perusahaan berjalan sesuai rencana. “Jadi jangan hanya dilihat, wah kok jelek ini merger. Sudah diperhitungkan, bahwa ini semua memang risiko yang sudah kita hitung akan terjadi di tahun pertama, setelah itu moncer. Apakah itu jelek? Nggak, di mana-mana orang bisnis di awal gitu,” yakinnya optimistis.
Untuk diketahui, dari sisi pendapatan, perusahaan sebenarnya menunjukkan pertumbuhan. Total pendapatan naik 11,98% secara tahunan, dari Rp 17,05 triliun menjadi Rp 19,09 triliun. Mayoritas disumbang jasa GSM mobile dan jaringan telekomunikasi sebesar Rp 18,83 triliun, sedangkan layanan managed services dan jasa teknologi informasi memberi kontribusi Rp 255,75 miliar.
Namun, kenaikan pendapatan tersebut tidak cukup menahan tekanan dari membengkaknya sejumlah beban. Tercatat, biaya penyusutan melonjak dari Rp 6,06 triliun menjadi Rp 7,30 triliun. Beban infrastruktur juga membengkak dari Rp 4,40 triliun menjadi Rp 5,36 triliun. Sementara itu, beban interkoneksi dan biaya langsung lainnya ikut terdongkrak dari Rp 1,56 triliun menjadi Rp 2,12 triliun.
XLSmart juga menanggung kenaikan biaya keuangan. Dari Rp 1,53 triliun pada semester I 2024, angka ini melejit ke Rp 1,86 triliun di periode yang sama tahun 2025. Kombinasi tekanan inilah yang membuat perusahaan tekor.