Pavel Durov, CEO dan pendiri Telegram, ditangkap dan kemudian dibebaskan belum lama ini di Prancis. Ia menghadapi tuntutan serius di Prancis, dituduh memfasilitasi kejahatan terorganisasi melalui aplikasi Telegram.
Beberapa waktu lalu, Durov kabarnya sudah diperbolehkan kembali ke Dubai, markas Telegram sekarang. Belum lama ini, pria kelahiran Rusia itu mengumumkan Telegram kini memiliki satu miliar pengguna aktif.
Dalam pengumumannya, Durov juga melontarkan beberapa sindiran ke rival terbesarnya, WhatsApp. Kini Telegram menjadi aplikasi perpesanan terbesar kedua di dunia setelah WhatsApp. “Di depan kami berdiri WhatsApp – imitasi Telegram yang murah dan sudah tidak relevan lagi,” kata Durov.
Nah yang terbaru, Durov menyatakan peringatan dan kritikan pada rancangan aturan di Prancis untuk bisa membuka pesan pengguna aplikasi. Negara itu dalam jalur mengesahkan aturan melarang adanya enkripsi atau penyandian pesan yang berpotensi membuat Telegram dkk rentan.
Durov menyampaikan dukungan terhadap keputusan Majelis Nasional Prancis baru-baru ini untuk menolak RUU kontroversial itu yang disebut akan menjadikan Prancis negara pertama yang merampas privasi digital warga. Menurut Durov, UU itu meski disebut untuk memerangi perdagangan narkoba, akan menimbulkan konsekuensi berbahaya.
“Anggota Majelis Nasional bertindak bijaksana dengan menolak UU yang akan menjadikan Prancis negara pertama di dunia yang merampas hak privasi warganya. Bahkan negara-negara yang oleh banyak orang Eropa dianggap kurang punya kebebasan tak pernah melarang enkripsi,” sebut Durov di Telegram.
“Mengapa? Karena secara teknis tak mungkin menjamin hanya polisi yang dapat mengakses backdoor. Setelah diperkenalkan, backdoor dapat dieksploitasi pihak lain, mulai agen asing hingga peretas. Akibatnya, pesan pribadi semua warga negara yang taat hukum dapat disusupi,” paparnya, dikutip infoINET dari Phone Arena.
Ia menunjukkan bahkan negara-negara yang banyak dikritik karena kebebasan sipil terbatas menahan diri untuk tidak melarang enkripsi. Begitu kerentanan tersebut muncul, ia menjadi target potensial bagi entitas yang bermusuhan. Ini dapat membahayakan komunikasi pribadi jutaan individu taat hukum.
Durov juga mempertanyakan peran RUU tersebut dalam memerangi kejahatan. Menurutnya, melemahkan aplikasi terenkripsi arus utama takkan mencegah penjahat berkomunikasi. Mereka akan beralih ke platform alternatif atau layanan terenkripsi yang kurang dikenal.
“Bahkan jika aplikasi terenkripsi arus utama dilemahkan backdoor, penjahat masih bisa komunikasi dengan aman melalui lusinan aplikasi lebih kecil dan menjadi lebih sulit dilacak karena VPN,” lanjutnya.
Durov menekankan Telegram lebih baik meninggalkan suatu negara daripada merusak enkripsi atau membahayakan privasi. Ia juga mengklaim platformnya tidak pernah membagikan pesan pribadi.
“Dalam 12 tahun sejarahnya, Telegram tak pernah mengungkapkan satu pun pesan pribadi. Sesuai Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, jika diberikan perintah pengadilan yang sah, Telegram hanya akan mengungkapkan alamat IP dan nomor tersangka kriminal, bukan pesan,” pungkasnya.