Dampak Negatif Terlalu Banyak Mengikuti Berita Buruk

Posted on

Lelah dan merasa kewalahan mendengar berita-berita buruk akhir-akhir ini? Kamu gak sendirian. Ada banyak orang merasakan hal serupa. Apa yang kamu alami valid, dan terbukti secara ilmiah.

Situasi politik yang penuh pertikaian, kelakuan pejabat yang bikin geleng-geleng kepala, kondisi saat pandemi, tekanan ekonomi, perang yang terus berlanjut, degradasi ekologi, hingga perubahan iklim, semua tema ini rutin ditampilkan dalam siklus berita 24 jam selama beberapa tahun terakhir, dan melelahkan untuk terus mengikuti semuanya.

Berdasarkan sebuah studi, terus-menerus terlibat dengan berita negatif tidak hanya menurunkan moral. Konsumsi informasi semacam itu secara terus-menerus sebenarnya dapat berdampak pada kesejahteraan kita, merusak kesehatan mental, sekaligus merusak kesehatan fisik. Poin terakhir ini sering kali diabaikan.

Mungkin tidak terlalu mengejutkan mendengar bahwa terpaku pada siklus berita negatif dapat berdampak buruk bagi kita. Namun ada sedikit perbedaan antara disibukkan dengan berita-berita suram dan konsumsi berita yang benar-benar bermasalah. Para ‘pecandu berita’, orang-orang yang sangat tertarik dengan berita dan karenanya mengonsumsinya dalam jumlah besar, tidak sama dengan orang-orang yang hubungannya tidak adaptif dengan berita.

Kelompok orang terakhir ini adalah mereka yang terjebak dalam lingkaran setan yang semakin terpikat untuk mengejar berita tertentu, terobsesi dengan peristiwa, dan terus-menerus mengecek berita untuk meredakan tekanan. Sayangnya, pendekatan ini tidak berhasil, karena justru membuat kalian ingin terus-menerus menelusuri berita.

Akibatnya, kalian dapat mengalami dampak serius pada kesehatan secara keseluruhan. Misalnya, seperti dikutip dari IFL Science, mengejar berita dapat menyebabkan seseorang terus-menerus berada dalam kondisi waspada tinggi, yang berpotensi menyebabkan stres dan kecemasan yang meningkat, serta depresi.

Hal ini karena ketika kita terpapar informasi tentang kekerasan, bencana, ketidakstabilan politik dan ekonomi, atau penyakit yang baru muncul, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons ‘lawan’ atau ‘lari’ akan aktif. Jadi, meskipun peristiwa yang kita ikuti terjadi di tempat lain, kita tetap dapat merasakan respons personal terhadap peristiwa tersebut, yang mungkin menyebabkan lonjakan kortisol di otak, memicu telapak tangan berkeringat, jantung berdebar, dan reaksi lainnya.

Dalam sebuah studi di 2016, para peneliti di Northeastern University meneliti respons orang-orang terhadap berita tentang pengeboman Boston Marathon 2013. Tim tersebut menemukan bahwa peserta yang terpapar berita yang mengandung lebih banyak kata-kata negatif melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi. Mereka yang paling sensitif terhadap tingkat stres juga lebih reaktif secara fisik terhadap gambar-gambar pengeboman sesudahnya.

Dalam studi lain yang dilakukan pada 2022, para peneliti di Texas Tech University menemukan bahwa mereka yang merasa perlu selalu mengecek berita mungkin menderita kesehatan mental dan fisik yang lebih buruk. Mereka yang memiliki kebiasaan mengonsumsi berita yang bermasalah dan telah memasuki lingkaran setan merasa terserap dan terperangkap dalam dunia yang berbahaya tanpa kemungkinan untuk melarikan diri.

Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mereka. Selain masalah kesehatan mental yang diketahui, peningkatan stres yang terus-menerus dapat menyebabkan peningkatan peradangan, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Meskipun perlu dicatat bahwa respons ini bukan karena paparan stresor yang berlebihan, tetapi lebih berkaitan dengan persepsi orang itu terhadap stresor tersebut sebagai ancaman.

Dalam studi ini, para peneliti menyurvei 1.100 orang dewasa AS yang ditanyai tentang tingkat konsumsi berita mereka dan seberapa besar mereka terkonsumsi olehnya. Mereka juga ditanyai seberapa sering mereka mengalami perasaan stres, cemas, dan penyakit fisik lainnya seperti kelelahan, nyeri fisik, kurang konsentrasi, dan masalah gastrointestinal.

Hasilnya menunjukkan bahwa 16,5% dari peserta yang disurvei menunjukkan tanda-tanda memiliki kebiasaan mengonsumsi berita yang ‘sangat bermasalah’. Orang-orang ini tanpa sadar begitu asyik mengonsumsi berita sehingga memengaruhi kehidupan mereka secara keseluruhan, seperti mengganggu tidur atau hubungan mereka dengan teman dan keluarga, serta kemampuan mereka untuk fokus pada pekerjaan.

Orang-orang ini juga melaporkan lebih banyak tanda-tanda kesehatan mental dan fisik yang buruk. Dari mereka yang memiliki kebiasaan konsumsi berita yang sangat bermasalah, 73,6% melaporkan mengalami kesehatan mental yang buruk ‘cukup sering’ atau ‘sangat sering’ dibandingkan dengan hanya 8% dari semua peserta studi lainnya. Sebanyak 61% dari mereka yang memiliki tingkat konsumsi berita yang sangat bermasalah melaporkan kesehatan fisik yang buruk ‘cukup sering’ atau ‘sangat sering’ dibandingkan dengan hanya 6% dari semua peserta studi lainnya.

Pada akhirnya, semakin banyaknya penelitian tentang subjek ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk kampanye literasi media yang lebih besar untuk membantu orang mengatasi kebiasaan konsumsi informasi yang tidak sehat. Namun, ini adalah keseimbangan yang rumit, karena mengikuti perkembangan terkini adalah bagian dari proses demokrasi dan menjadi warga negara yang terinformasi. Kita juga harus terus mengedukasi diri, terutama jika memilih untuk minimal tidak diam menanggapi isu-isu penting yang perlu terus disuarakan seperti perubahan iklim dan genosida di Gaza, Palestina.

Pertama-tama, mau tidak mau kalian memang harus memberi jeda sejenak. Hindari doomscrolling berita dengan mengatur seberapa banyak waktu yang kalian habiskan secara online atau membatasinya pada waktu-waktu tertentu. Lakukan sesuatu yang menenangkan setelah mengonsumsi berita, dan waspadai konten yang kalian konsumsi dan bagaimana konten tersebut memengaruhi kalian.

Berhenti sejenak dari konsumsi berita yang melelahkan setidaknya akan membiarkan otak kalian mencerna informasi yang dimilikinya dan beristirahat dari kondisi waspada tinggi. Keseimbangan, seperti dalam semua hal, adalah kuncinya. Jika kalian merasa kewalahan dengan siklus berita negatif, ingatlah kalian tidak sendirian dan ada cara untuk mengatasinya.

Jika kalian tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri darinya, setidaknya lengkapi ‘pola makan’ otak dengan konsumsi cerita-cerita yang juga mempromosikan kebaikan, tindakan kepahlawanan, dan inspirasi, atau melakukan hobi sebagai cara untuk melindungi pikiran dari topik-topik yang suram.

Survei Paparan Berita Buruk

Detoksifikasi, Jeda Sejenak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *