Banjir bandang yang kembali melanda Sumatra pada akhir November 2025 dinilai berkaitan erat dengan kerusakan hutan di kawasan hulu. Pakar menyatakan bahwa upaya struktural seperti tanggul dan normalisasi sungai tidak akan efektif tanpa dihentikannya deforestasi di daerah tangkapan air di wilayah hulu.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU menegaskan perlindungan hutan di kawasan kritis seperti Ekosistem Leuser dan Batang Toru harus menjadi prioritas untuk mencegah bencana serupa terulang. Pemerintah perlu menegakkan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menghentikan laju deforestasi di kawasan rawan banjir secara tegas.
“Sisa hutan di hulu-hulu kritis, misalnya Ekosistem Leuser di Aceh dan hutan Batang Toru di Sumut harus dipertahankan sebagai ‘harga mati’ mengingat fungsinya yang tak tergantikan dalam mencegah banjir bandang,” kata Hatma seperti dikutip dari situs UGM, Senin (1/12/2025).
“Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Selain itu, meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan akan memperkuat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang,” urainya.
Menghadapi potensi cuaca ekstrem yang semakin sering akibat perubahan iklim membuat sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan harus terus diperkuat. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengupayakan peringatan dini cuaca ekstrem dan potensi banjir bandang setiap memasuki puncak musim hujan.
Informasi-informasi ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan langkah-langkah seperti simulasi evakuasi, penataan ulang permukiman rawan, dan memastikan kapasitas tanggap darurat memadai.
“Pemakaian teknologi modifikasi cuaca (TMC), dapat dipertimbangkan sebagai upaya mengurangi curah hujan di lokasi tertentu ketika potensi banjir bandang sangat tinggi. Hanya saja, solusi teknologi tetap dilihat sebagai pelengkap bukan pengganti, dan langkah utama yang harus dilakukan adalah perbaikan tata lingkungan,” tegasnya.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Pada akhirnya, kunci ketangguhan menghadapi bencana lebih pada keseimbangan hubungan manusia dan alam. Banjir bandang yang berulang inipun menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan.
“Kolaborasi semua pihak pemerintah, swasta, komunitas, dan pegiat lingkungan sangat diperlukan untuk melakukan pembenahan menyeluruh di hulu hingga hilir. Dengan melindungi hutan, menata ruang berbasis mitigasi, dan meningkatkan kesadaran ekologis, masyarakat di Sumatra dan Indonesia secara umum dapat menjadikan Indonesia lebih tangguh menghadapi ancaman banjir bandang dan longsor yang mungkin meningkat seiring perubahan iklim,” jelas Hatma.
“Tragedi akhir November 2025 ini, hendaknya menjadi titik balik untuk bergerak menuju keseimbangan baru, di mana keselamatan masyarakat terlindungi dengan tetap menjaga kelestarian alam,” tutupnya.







