Jepang kian agresif dalam upayanya kembali ke barisan terdepan industri semikonduktor dunia. Di tengah perlombaan global menuju proses fabrikasi paling canggih, Pulau Hokkaido–yang biasanya diasosiasikan dengan peternakan susu, ski, dan ladang bunga–mendadak menjadi panggung utama ambisi tersebut.
Di sanalah Rapidus, perusahaan foundry yang didukung pemerintah, sedang membangun salah satu proyek chip paling ambisius di dunia: produksi massal chip logika 2 nanometer, demikian dikutip infoINET dari Techspot, Senin (1/12/2025).
Risikonya besar, investasi politik dan finansialnya pun luar biasa. Pemerintah Jepang telah mengucurkan sekitar USD 12 miliar hanya untuk Rapidus, di luar puluhan miliar dolar subsidi industri chip lainnya. Dukungan tambahan datang dari raksasa lokal seperti Toyota, SoftBank, dan Sony. Harapannya jelas: menghidupkan kembali kejayaan manufaktur chip Jepang yang telah redup sejak era dominasi Amerika dan Taiwan.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Pabrik utama Rapidus–disebut IIM-1 (Innovative Integration for Manufacturing)–sedang dibangun di Chitose, tidak jauh dari Bandara New Chitose dan masih bisa dijangkau dari Sapporo. Lokasi itu dipilih dengan pertimbangan teknik yang sangat spesifik: ketersediaan air dan listrik yang stabil, serta risiko gempa yang lebih rendah dibanding wilayah potensial lain di Jepang. Semua itu penting untuk memastikan alat litografi yang sensitif terhadap getaran dapat beroperasi optimal.
Secara desain, pabrik ini menggabungkan kepentingan industri dan karakter regional. CEO Rapidus Atsuyoshi Koike menyebut bagian luarnya akan ditutup rumput agar menyatu dengan lanskap Hokkaido. Di balik tampilan hijau tersebut, IIM-1 dirancang sebagai basis produksi terintegrasi dari front-end hingga back-end. Lini pilot chip 2nm ditargetkan hidup lebih dulu sebelum masuk tahapan produksi massal pada 2027.
Tantangannya tidak main-main. Rapidus berusaha masuk tepat di level paling ketat dalam roadmap teknologi chip. Awal tahun ini, perusahaan mengumumkan bahwa mereka telah berhasil membuat prototipe transistor gate-all-around (GAA) 2nm, berkat kolaborasi dengan IBM dan akses ke proses nanosheet milik perusahaan AS tersebut.
Di level global, hanya TSMC dan Samsung yang sejauh ini menunjukkan kemampuan serupa. Intel memilih jalur berbeda dengan melompati proses 2nm dan menargetkan langsung node sekitar 1,8nm.
Bagi Jepang, keberhasilan membuat transistor 2nm di wafer 300 mm bukan berarti langsung menyaingi para pemimpin pasar. Namun itu menjadi bukti bahwa para insinyur domestik mampu mengeksekusi teknologi GAA di level paling maju–langkah penting untuk membangun posisi kembali dalam rantai pasok global.
Rapidus juga mencetak sejarah dengan memasang mesin EUV scanner mutakhir dari ASML di IIM-1, menjadikannya perusahaan pertama di Jepang yang menggunakan peralatan EUV kelas volume produksi untuk chip logika lanjutan. Mesin ini mampu memproses ratusan wafer per jam dengan sumber cahaya berdaya tinggi, optik presisi, dan sistem stage berkecepatan ekstrem.
Proses instalasinya sangat kompleks, karena Rapidus harus menyinkronkan pembangunan fasilitas, penyiapan cleanroom, dan pengiriman alat dalam waktu yang sangat ketat sambil memenuhi toleransi suhu, kelembapan, hingga tingkat kontaminasi.
Di dalam pabrik, Rapidus mengambil pendekatan arsitektur produksi yang tidak lazim dibanding mayoritas foundry besar. Semua proses front-end akan berjalan di alat single-wafer, bukan campuran batch dan single-wafer. Setiap wafer diproses satu per satu untuk deposisi, etsa, pembersihan, dan tahapan lain, memungkinkan parameter disesuaikan secara real-time dan data beresolusi tinggi dikumpulkan di setiap lapisan.
Alurnya memang lebih lambat, tetapi Rapidus meyakini pendekatan ini akan mempercepat pembelajaran yield, menurunkan cacat, dan mempersingkat siklus dari tape-out hingga siap produksi. Strategi itu juga menjadi diferensiasi utama: bukan berburu volume seperti TSMC dan Samsung, melainkan menawarkan fleksibilitas dan turn-around yang lebih cepat untuk pelanggan.
Sementara itu, Rapidus juga membangun ekosistem packaging secara paralel. Di fasilitas Seiko Epson yang masih berada di Chitose, mereka mengembangkan lini pilot back-end bernama RCS yang fokus pada interposer RDL, integrasi chiplet, dan kemasan 3D.
Teknologi ini rencananya dipindahkan ke pabrik IIM-1 mulai 2027, sehingga Rapidus bisa mengendalikan seluruh rantai manufaktur dari pembentukan transistor hingga pengemasan dan pengujian, lengkap dengan sistem “known good die” untuk meningkatkan yield perakitan.
Meski momentum politiknya kuat, tantangan strukturalnya tetap besar. AMRO memperkirakan pendanaan yang sudah dikucurkan pemerintah masih jauh dari kebutuhan total sekitar 5 triliun Yen, atau USD 31,8 miliar, untuk mencapai produksi 2nm stabil dalam skala penuh.
Analis di Center for Strategic and International Studies juga menyoroti bahwa Rapidus belum memiliki rekam jejak manufaktur tingkat lanjut dan banyak bergantung pada transfer teknologi dari IBM, bukan pengalaman puluhan tahun seperti yang dimiliki TSMC dan Samsung.
Karena itu, proyek ini bisa berakhir sebagai kisah comeback ambisius atau justru peringatan keras tentang sulitnya kembali ke puncak setelah tertinggal terlalu jauh. Rapidus harus menyalakan fab generasi baru, melakukan transfer resep proses yang sangat kompleks, menurunkan cacat hingga mencapai yield komersial di 2nm, meyakinkan pelanggan agar mau memesan, dan membuktikan bahwa model produksi single-wafer berbasis AI benar-benar mampu mempersingkat siklus produksi chip.







