5 Fakta Tesso Nilo yang Dibela Netizen, Habitat Spesies Langka

Posted on

Netizen dalam beberapa hari terakhir ramai menyuarakan ‘Save Tesso Nilo’ hingga ‘Kami Bersama Tesso Nilo’. Netizen khawatir konflik dan aksi perusakan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), di Kabupaten Pelalawan, Riau, Sumatra Utara, berdampak parah pada para pengghuni habitat alami tersebut.

Padahal, TNTN menjadi habitat asli dan rumah bagi flora dan fauna endemik di Indonesia. Berikut 5 fakta Tesso Nilo yang ramai dibela netizen dan para aktivis peduli lingkungan, dirangkum infoINET dari berbagai sumber.

Situs WWF Indonesia menyebut Tesso Nilo adalah salah satu blok hutan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatra, dan karenanya menjadi benteng terakhir hutan dataran rendah di Sumatra.

Secara administratif, kawasan ini berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Wilayah hutan ini resmi dikukuhkan menjadi taman nasional pada tahun 2004 seluas 38.576 hektare, dan diperluas menjadi sekitar 83.068 hektare pada 2009.

Sayangnya, kini tersisa 12.561 hektar saja lahan yang masih berfungsi secara alami sebagai hutan. Kondisi ini tak lain adalah dampak dari perampasan wilayah, penggerusan, dan perusakan oleh manusia yang membangun pemukiman dan kebun sawit ilegal di Kawasan TNTN. Hal ini tentu saja merusak ekosistem spesies flora dan fauna di kawasan hutan lindung tersebut.

Blok hutan ini merupakan habitat gajah dan harimau Sumatra, menjadikannya kawasan konservasi yang sangat penting. Namun selain dua hewan terkenal itu, banyak penghuni lainnya, termasuk berbagai spesies burung yang berfungsi sebagai bioindikator yang mencerminkan kualitas lingkungan di dalam ekosistemnya.

Berdasarkan data LIPI (sekarang BRIN) dan WWF Indonesia, tercatat ada 216 jenis fauna yang ada di TNTN, termasuk primata, reptil, amfibi, ikan, mamalia, hingga burung. Populasi mereka kian terancam mengingat Tesso Nilo yang tak lagi alami.

TNTN juga merupakan sumber hasil hutan non kayu seperti getah, buah, madu, rotan dan tumbuhan obat-obatan. Ekosistem hutan ini terikat dengan ragam flora yang tumbuh di sana.

Tumbuhan yang ditemui di TNTN biasanya berjenis endemik, misalnya kempas, kulim, kayu batu, jelutung, ramin, meranti-merantian, tembesu, keranji, keruing, jenis sindora, hingga durian. Tak jarang ditemukan tumbuhan obat di hutan ini.

Temuan LIPI dan WWF Indonesia menyebut setidaknya ada 360 jenis flora di TNTN. Bahkan, Center Biodiversity Management mengakui Tesso Nilo adalah hutan dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia, setelah ditemukan 218 jenis tumbuhan vaskular (berpembuluh) dalam 200 m2 petak.

Kawasan Tesso Nilo menghadapi ancaman serius, terutama dari aktivitas ilegal yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Sebagian besar lahan di TNTN dirambah secara ilegal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pada November 2025, dilaporkan bahwa hutan alami hanya tersisa sekitar 15% dari luas total taman nasional.

Perambahan hutan juga menyusutkan populasi gajah secara signifika. Populasi gajah liar menurun dari 200 ekor pada 2004 menjadi 150 ekor pada 2025.

Selain itu, upaya penertiban lahan memicu konflik antara petugas Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dengan warga yang menduduki lahan secara ilegal. Yang terbaru, terjadi perusakan fasilitas pos pengamanan TNTN oleh oknum-oknum yang tidak dikenal.

Mengutip situs Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkum Kehutanan) bersama Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) memperkuat operasi penertiban dan pengamanan kawasan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Provinsi Riau.

Langkah ini, menurut Kemenhut, merupakan bagian dari upaya menyelamatkan TNTN sebagai rumah gajah Sumatra dan penyangga kehidupan masyarakat, sekaligus merespon tingginya perhatian publik terhadap kampanye Save Tesso Nilo dan sosok Gajah Domang yang selama ini menjadi ikon Tesso Nilo.

Selain penegakan hukum, berbagai pihak termasuk seniman dan aktivis lingkungan, turut menyuarakan keprihatinan dan kampanye untuk menyelamatkan Tesso Nilo. Upaya relokasi masyarakat yang tinggal di dalam kawasan pun terus dilakukan, meskipun sering kali terkendala provokasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sementara itu, lembaga seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyarankan perlunya dialog antara pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi holistik.

1. ‘Benteng Terakhir’

2. Rumah Gajah dan Harimau Sumatra

3. Beragam Flora

4. Makin Rusak

5. Upaya Pemulihan