Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Fifi Aleyda Yahya, mengatakan literasi digital bagi anak tak hanya melampaui sekedar kemampuan teknis semata.
Hal itu tersebut yang harus dimiliki anak-anak karena menjadi kelompok rentan menjadi korban dalam kejahatan di ruang digital. Menurut laporan dari National Center For Missing and Exploited Children (NCMEC) Tahun 2024, ada sebanyak 5.566.015 konten kasus pornografi anak di Indonesia selama kurun waktu 2021-2024.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan 89% anak berusia 5 tahun ke atas sudah menggunakan internet, sebagian besar mengakses sosial media, yang membuat mereka rentan terhadap risiko paparan konten negatif.
“Kami mengajak anak-anak belajar tentang hak dan kewajiban sebagai anak digital yang cerdas dan bertanggung jawab, dan kepada orang tua untuk selalu mengawasi kegiatan digital anak-anak mereka,” ujar Fifi Aleyda Yahya dikutip dari pernyataan tertulisnya, Selasa (11/11/2025).
Ia menambahkan, pendampingan harus dilakukan secara seimbang. Anak perlu memahami batasan konten yang boleh mereka akses, mampu membagi waktu antara belajar dan berkreasi di dunia online, serta tetap aktif bersosialisasi di dunia nyata.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas) sebagai upaya melindungi anak dari paparan konten yang tidak sesuai usia.
Dalam regulasi itu juga mengatur kewajiban dan sanksi bagi platform digital untuk menerapkan verifikasi usia terhadap penggunanya.
Guna meningkatkan literasi digital kepada anak, Komdigi mengajak anak-anak santri untuk menjadi sahabat tunas yang tidak hanya pintar menggunakan gawai, tetapi juga memiliki kesadaran penuh untuk menjaga diri dan menghormati orang lain di dunia maya.
Agar pesan tersebut sampai ke anak-anak, Komdigi melakukannya salah satunya menggunakan pertunjukkan tradisional yang menghibur, seperti Wayang Golek. Tidak hanya wayang, kegiatan yang diikuti hampir 300 siswa SD dan MTs ini juga dimeriahkan oleh kesenian silat, permainan tradisional seperti congklak dan egrang, serta pameran aplikasi dan gim karya santri.
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, mengungkapkan PP Tunas disebut sebagai bukti serius pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital sehingga tetap diterbitkan meskipun mendapatkan penolakan dari beberapa platform digital.
“Bagi perusahaan-perusahaan ini kita adalah pasar, karena itu tentu ada reaksi ketika pasarnya dipotong. Tapi alhamdulillah karena kepemimpinan Bapak Presiden yang teguh, beliau menyampaikan bahwa ini memang sudah harus jalan seperti itu, kita harus melindungi anak-anak kita,” tuturnya.
Meutya mengungkapkan Indonesia menjadi negara kedua di dunia yang menerapkan regulasi penundaan akses anak terhadap platform digital setelah Australia.
Disampaikan Menkomdigi bahwa saat ini pemerintah tengah menyusun sistem untuk menerapkan sanksi tegas terhadap platform yang melanggar aturan.
“Saat ini kita masih punya waktu untuk melakukan perbaikan sistem untuk nanti kita akan betul-betul terapkan sanksi. Sanksi ini dikenakan terhadap platform, bukan kepada ibu, bukan kepada anak,” tegasnya.







