Para peneliti yang ingin mengungkap pola pergerakan gempa bumi menemukan fakta yang meresahkan, dua patahan terbesar di dunia terkadang bekerja bersamaan.
Para peneliti gempa bumi di Pantai Barat Amerika Utara menemukan tanda, bahwa gempa bumi di Zona Subduksi Cascadia atau Sesar San Andreas dapat memicu gempa bumi di zona lainnya.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Geosphere, para peneliti dari Oregon State University yang dipimpin oleh Chris Goldfinger, seorang ahli geologi dan geofisika kelautan, menunjukkan bukti yang disebut ‘sinkronisasi parsial’ antara Sesar San Andreas utara dan Zona Subduksi Cascadia.
Sinkronisasi parsial pada dasarnya berarti bahwa suatu peristiwa gempa bumi di satu zona memiliki riwayat pemicu di zona lainnya, dan bukti historis ‘interaksi signifikan’ antara keduanya, serta potensi interaksi yang lebih besar di masa mendatang. Menurut mereka, hal ini perlu dianggap sebagai peringatan.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Bukti inti dari hubungan ini berasal dari dasar laut. Tim menambang 130 inti sedimen yang berasal dari 3.100 tahun yang lalu, dari Persimpangan Tiga Mendocino, tempat pertemuan Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng Gorda di bawah Lempeng Amerika Utara, di Zona Subduksi Cascadia dengan Sesar San Andreas di lepas pantai California utara. Di sana, lapisan sedimen menunjukkan aktivitas turbidit yang tidak biasa, lapisan yang terbentuk oleh longsor laut yang menggerakkan dasar laut, yang seringkali merupakan tanda-tanda awal gempa bumi.
“Turbidit pada umumnya memiliki sedimen kasar di bagian bawah, sementara lanau yang lebih halus mengendap di bagian atas. Namun, di Mendocino Triple Junction, struktur tersebut terbalik dan tampak terbalik dengan semua pasir di atasnya. Dan sejauh yang kami ketahui, gravitasi tidak berubah,” ujar Goldfinger dikutip dari Scientific American, Senin (20/10/2025).
Hal ini kemungkinan menyiratkan bahwa formasi turbidit unik tersebut ditumpuk oleh dua gempa bumi, satu dari masing-masing zona, secara berurutan dengan selisih waktu beberapa tahun atau bahkan menit.
Studi ini menunjukkan bahwa delapan tikungan turbidit memiliki ‘tumpang tindih temporal yang substansial’ antara Zona Subduksi Cascadia dan Sesar San Andreas, dan bahwa peristiwa gempa sinkronisasi besar terakhir terjadi sekitar tahun 1700. Goldfinger membandingkan situasi ini dengan menyetel radio untuk mengonversi sinyal masuk.
“Saat menyetel sistem radio lama, pada dasarnya Anda menyebabkan satu osilator bergetar pada frekuensi yang sama dengan yang lainnya. Ketika patahan-patahan ini sinkron, satu patahan dapat menyetel patahan lainnya dan menyebabkan gempa bumi berpasangan,” ujarnya.
Namun, meskipun sudah lebih dari 300 tahun sejak gempa bumi kembar terakhir terjadi, hal itu tidak menutup kemungkinan akan terjadi peristiwa serupa di masa mendatang.
“Kita bisa memperkirakan bahwa gempa bumi di salah satu patahan saja akan menguras sumber daya seluruh negeri untuk meresponsnya,” ujar Goldfinger.
“Jika keduanya terjadi bersamaan, maka kemungkinan San Francisco, Portland, Seattle, dan Vancouver semuanya akan berada dalam situasi darurat dalam jangka waktu yang singkat,” imbuhnya.
Meskipun ‘hanya’ terjadi delapan kejadian besar, bukti menunjukkan kedua wilayah tersebut saling terkait erat sehingga gempa bumi yang terjadi hampir bersamaan bukanlah hal yang jarang terjadi.
“Dalam makalah ini, kami berfokus pada geologi, alih-alih memikirkan potensi bencana. Namun, cukup jelas bahwa jika hal seperti ini terjadi, dan kami yakin buktinya kuat, kami perlu bersiap,” kata Goldfinger.
Dari penelitian tersebut, belum diketahui bagaimana dengan kondisi patahan lain misalnya di Asia termasuk Indonesia. Penelitian mereka baru untuk wilayah Amerika saja.