Rencana penerapan kebijakan identitas tunggal untuk akun media sosial mencuat setelah kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota besar beberapa waktu lalu. Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengatakan bahwa mengenai aturan ini harus memperhatikan keseimbangan antara keamanan nasional, privasi masyarakat, dan keberlanjutan bisnis platform digital.
“Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah: bagaimana kita dapat menciptakan ekosistem digital yang aman dan bertanggung jawab tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi dan privasi pengguna yang merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis?” ujarnya seperti dikutip, Kamis (25/9/2025).
Menurut Ardi, ada tiga kepentingan yang harus diperhatikan secara seimbang. Pertama, kepentingan keamanan nasional, karena anonimitas di media sosial sering menjadi tameng bagi pihak yang menyebarkan narasi berbahaya.
“Identifikasi pengguna media sosial melalui sistem identitas tunggal dapat membantu penegak hukum melacak dan meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang menyebarkan konten berbahaya atau melakukan tindakan yang melanggar hukum,” jelasnya.
Kedua, kepentingan masyarakat pengguna, terutama soal perlindungan data pribadi. Ardi menegaskan bahwa anonimitas di media sosial bukan semata-mata alat untuk menghindari tanggung jawab, tetapi juga mekanisme perlindungan diri dari potensi persekusi atau diskriminasi akibat pandangan atau identitas mereka.
Ketiga, kepentingan penyelenggara platform. Kebijakan verifikasi identitas berpotensi menambah biaya operasional dan mengurangi pengguna aktif jika prosedurnya memberatkan. Meski begitu, kata Ardi, platform juga memiliki tanggung jawab sosial menciptakan ruang digital yang sehat.
ICSF juga menyoroti pengalaman negara lain yang pernah menerapkan kebijakan serupa, mulai dari Korea Selatan yang sempat gagal dengan sistem real-name hingga Nepal dan India yang menghadapi tantangan hukum serta infrastruktur.
“Pengalaman dari negara-negara lain menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu kaku cenderung gagal dan bahkan kontraproduktif,” kata Ardi.
Sebagai alternatif, ia menyebutkan potensi adaptasi teknologi seperti e-KYC, blockchain untuk verifikasi terdesentralisasi, hingga sistem kecerdasan buatan untuk mendeteksi perilaku mencurigakan, sebagai jalan tengah agar kebijakan lebih efektif tanpa melanggar privasi.
“Yang dibutuhkan adalah dialog konstruktif dan berbasis bukti untuk menciptakan solusi yang melindungi keamanan nasional tanpa mengorbankan hak-hak digital warga negara dan iklim investasi teknologi di Indonesia,” tegas Ardi.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mengaji usulan penerapan satu orang satu akun medsos.
“Kita lagi review itu karena terkait juga dengan program Satu Data Indonesia,” kata Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria ditemui awak media di acara Indonesia-UAE Government Experience Exchange Retreat, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Usulan identitas tunggal untuk akun medsos ini pertama kali diusulkan oleh Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR RI Bambang Haryadi. Bambang menyebut ide ini untuk menghindari akun anonim maupun akun palsu.
“Jadi kita kan paham bahwa social media itu benar-benar sangat terbuka dan susah, isu apa pun bisa dilakukan di sana. Kadang kita juga harus cermat juga dalam menanggapi isu social media itu,” kata Bambang Haryadi.
“Bahkan kami berpendapat bahwa ke depan perlu juga single account terintegrasi, jadi setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun di setiap platform media sosial. Kami belajar dari Swiss misalnya kan, satu warga negara hanya punya satu nomor telepon, karena nomer telepon tersebut terintegrasi dengan fasilitas bantuan pemerintah, sosmed dan lain lain, ” sambung dia.
Bambang menyebut informasi yang disampaikan di media sosial harus dapat dipertanggungjawabkan. Dia menyoroti fenomena akun anonim dan buzzer alias pendengung yang belakangan ini memang marak berseliweran di berbagai media sosial.