Pemerintahan Donald Trump akan meminta perusahaan membayar USD 100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar untuk visa baru bagi pekerja terampil H-1B. Perubahan ini dapat memberi pukulan telak bagi sektor teknologi yang sangat bergantung pada pekerja terampil dari India dan China.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Sejak menjabat, Trump menggelar tindakan keras soal imigrasi. Perubahan aturan visa H-1B merupakan upaya paling menonjol dari pemerintahannya untuk merombak visa kerja sementara.
“Anda akan melatih salah satu lulusan baru dari salah satu universitas besar di negeri kita. Latihlah orang Amerika. Hentikan perekrutan orang untuk merebut pekerjaan kita,” kata Menteri Perdagangan Howard Lutnick.
Microsoft, JPMorgan, dan Amazon menanggapi pengumuman tersebut dengan menyarankan karyawan pemegang visa H-1B untuk tetap tinggal di Amerika Serikat.
Kritikus program H-1B, termasuk banyak pekerja teknologi AS, berpendapat bahwa program ini memungkinkan perusahaan menekan upah dan menyingkirkan warga Amerika yang sejatinya dapat melakukan pekerjaan tersebut.
Adapun pendukung, termasuk CEO Tesla dan mantan sekutu Trump, Elon Musk, menyebut program ini mendatangkan karyawan ahli yang penting untuk mengisi kesenjangan bakat dan menjaga daya saing. Musk adalah warga negara AS yang dinaturalisasi dan lahir di Afrika Selatan, pernah memegang visa H-1B.
Namun menurut pemerintahan Trump, beberapa perusahaan mengeksploitasi program ini untuk menekan upah dan merugikan pekerja AS. Jumlah pekerja asing bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2019 jadi hampir 2,5 juta, meski lapangan kerja STEM hanya meningkat 44,5% selama periode tersebut.
Tetapi menurut Deedy Das, pengamat di Menlo Ventures, talenta terpintar dunia akan enggan ke AS karena biaya itu. “Jika AS berhenti menarik talenta terbaik, kemampuannya untuk berinovasi dan mengembangkan ekonomi akan berkurang drastis,” cetusnya yang dikutip infoINET dari Reuters, Senin (22/9/2025).
Langkah ini juga dapat menambah biaya jutaan dolar bagi perusahaan, yang dapat sangat merugikan perusahaan teknologi kecil dan startup. Itu juga dapat memaksa perusahaan memindahkan beberapa pekerjaan bernilai tinggi ke luar negeri, yang menghambat posisi Amerika dalam persaingan AI dengan China.
“Dalam jangka pendek, Washington mungkin akan meraup keuntungan besar. Dalam jangka panjang, AS berisiko membebani keunggulan inovasinya, menukar dinamisme dengan proteksionisme yang picik,” kata analis eMarketer, Jeremy Goldman.