Suami istri ini, yang telah bersama selama hampir 15 tahun ini, akhirnya berpisah. Sang suami menyalahkan ChatGPT terkait perceraian mereka.
Sang suami mengakui, pernikahan mereka tidak sempurna. Namun mereka mampu mengatasi kesulitan mereka di masa lalu. “Kami telah bersama kurang lebih 15 tahun. Dua anak,” jelas sang suami yang dikutip infoINET dari Futurism.
“Kami pasang surut seperti hubungan lainnya dan tahun 2023, kami hampir putus. Namun akhirnya berbaikan dan menurutku, kami menjalani dua tahun sangat baik. Dan kemudian, seluruh masalah ChatGPT itu terjadi,” cetusnya.
Pertengkaran kembali terjadi. Nah, istrinya mulai menggunakan ChatGPT untuk menganalisis dirinya dan pernikahan mereka, melakukan percakapan panjang dengan AI itu. “Yang terjadi, tanpa sepengetahuan saya saat itu, dia menggali semua hal sebelumnya dan memasukkannya ke dalam ChatGPT,” katanya.
Ketika istrinya mengandalkan teknologi itu sebagai teman curhat sekaligus terapis, AI itu mulai menggambarkannya sebagai penjahat sampai akhirnya mereka cerai. “AI tak memberikan analisis objektif. Keluarga saya terpecah belah dan saya sangat yakin fenomena AI ini adalah inti dari masalahnya,” katanya.
Bahkan Geoffrey Hinton, ilmuwan komputer peraih Nobel yang dikenal sebagai Bapak AI, baru-baru ini mengakui pacarnya memutuskan hubungan dengannya melalui ChatGPT. “Dia minta ChatGPT untuk memberi tahu saya betapa buruknya saya dia meminta chatbot untuk menjelaskan betapa buruknya perilaku saya,” kata Hinton kepada The Financial Times.
Semakin banyak orang beralih ke AI untuk membahas detail kehidupan pribadi termasuk tentang kesehatan mental dan hubungan, melengkapi atau menggantikan terapi tradisional.
Namun pakar kesehatan mental memperingatkan agar tidak menggunakan chatbot untuk terapi atau dukungan kesehatan mental. Mereka menyebutkan ketidakandalan teknologi tersebut dan kecenderungannya untuk menjilat. AI cenderung bersikap menyenangkan dan membenarkan pandangan mereka.
Dr. Anna Lembke, profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, menyebut AI sebagai teknologi yang dirancang untuk mengoptimalkan empati dan validasi sehingga mengabaikan jenis umpan balik lainnya.
“Empati dan validasi merupakan komponen penting dari segala jenis perawatan kesehatan mental atau intervensi kesehatan mental, tetapi tidak bisa berhenti hanya pada empati dan validasi,” ujarnya.
“Anda tidak bisa terus-menerus memberi tahu seseorang yang sedang mencari dukungan emosional bahwa cara mereka adalah benar dan pandangan dunia mereka satu-satunya pandangan dunia yang benar,” ujarnya.
“Peran terapis yang baik adalah membuat orang menyadari titik buta mereka, bagaimana mereka berkontribusi terhadap masalah, mendorong untuk melihat perspektif orang lain, dan mencoba menemukan jalan keluar dari konflik dengan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi secara lebih efektif,” papar dia.
“Tetapi bukan itu yang terjadi dengan AI, karena AI sebenarnya tidak dirancang untuk bersifat terapeutik. AI sebenarnya dirancang untuk membuat orang merasa lebih baik dalam jangka pendek,” cetusnya.