Strategi BRIN Bangun Ekosistem Satelit Nasional di Tengah Gempuran Starlink

Posted on

Di tengah kehadiran konstelasi satelit global seperti Starlink yang resmi beroperasi di Indonesia sejak Mei 2024, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus menggenjot pengembangan ekosistem satelit nasional.

Dengan misi mempercepat inklusi digital dan mendukung kemandirian teknologi antariksa, BRIN merumuskan strategi kolaboratif untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah persaingan global. Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN, Wahyudi Hasbi, mengungkapkan langkah-langkah strategis tersebut kepada infoINET.

BRIN memainkan peran sentral dalam membangun ekosistem satelit nasional melalui kolaborasi dengan sektor swasta seperti PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan Telkom. Meski tidak terlibat langsung dalam proyek komersial seperti Satelit Nusantara Lima (SNL), BRIN mendukung melalui riset pendukung, seperti pengembangan antena phased-array untuk stasiun Bumi, penelitian komunikasi satelit, dan studi mitigasi interferensi.

“Kami menyiapkan SDM, infrastruktur, dan kegiatan riset sesuai kebutuhan industri. BRIN terbuka untuk kolaborasi, termasuk penggunaan fasilitas uji dan integrasi satelit yang kami miliki,” ujar pria kelahiran Biak ini, saat bertemu di acara peluncuran Satelit Nusantara Lima di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat.

Kolaborasi ini juga mencakup pengembangan Satelit Konstelasi Nusantara, sebuah program satelit nasional multimisi untuk observasi bumi, pengawasan maritim, dan komunikasi. Dengan pengalaman mengoperasikan tiga satelit LEO (LAPAN-A1, A2, dan A3) yang masih aktif, BRIN kini tengah merancang konstelasi satelit LEO baru untuk mendukung pembangunan nasional dan industri dalam negeri.

“Harapannya, Indonesia bisa memiliki industri manufaktur satelit sendiri dalam waktu dekat,” tambahnya.

Wahyudi menyadari membangun ekosistem satelit nasional bukan perkara mudah. Salah satu tantangan utama adalah minimnya awareness investasi di sektor antariksa, baik dari pemerintah maupun swasta.

Tak mau berpangku tangan, BRIN coba mengatasi dengan bekerja sama dengan Bappenas dan asosiasi profesi untuk mengkampanyekan potensi space economy, yang diprediksi mencapai USD 1,8 triliun secara global pada 2035.

“Kami fokus pada hilirisasi riset, pelatihan SDM bersama kampus dan industri, serta penyusunan kebijakan antariksa yang relevan,” jelas Wahyudi.

Kehadiran Starlink, dengan konstelasi satelit LEO-nya, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Wahyudi menegaskan bahwa layanan satelit GEO VHTS seperti SNL dan layanan NGSO global seperti Starlink dapat saling melengkapi.

“Pemerintah perlu memastikan kepatuhan regulasi nasional, tetapi kami melihat potensi sinergi untuk memperluas konektivitas dengan memprioritaskan kapasitas nasional,” jelas peraih gelar Doktor (-Ing) dari Technische Universitat Berlin ini.

SNL, dengan kapasitas lebih dari 160 Gbps dan teknologi Ka-band spot beam, dirancang untuk menjangkau wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), seperti menyediakan backhaul BTS/USO, akses internet sekolah, dan puskesmas. Kombinasi dengan satelit lain menjadikan Indonesia salah satu negara dengan kapasitas satelit terbesar di Asia, memperkuat posisi regionalnya.

Pun begitu masih besar pekerjaan rumah yang dihadapi Indonesia. Salah satunya mengatasi kesenjangan kapasitas satelit sekitar 1 Tbps di wilayah 3T.

Melihat persoalan itu, BRIN mendorong strategi multifaset. Jurus tersebut meliputi pembangunan satelit VHTS baru seperti SNL, pengembangan satelit LEO, optimalisasi spektrum, dan pendekatan hibrid dengan serat optik.

“Kami juga melakukan riset untuk mitigasi interferensi dan pengelolaan spektrum agar operasional satelit lebih efisien,” ungkap Wahyudi.

BRIN juga berkontribusi pada space situational awareness untuk memastikan keselamatan satelit di orbit. Tak sampai di situ, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan ekosistem lokal turut pula digarap.

Upaya yang sampai saat ini BRIN membuka peluang co-development dan co-creation. Perwujudannya meliputi program magang, penggunaan fasilitas riset bersama, dan konsorsium riset dengan perguruan tinggi serta industri.

“Kami ingin membangun SDM unggul dan memperkuat ekosistem satelit nasional melalui kegiatan Assembly-Integration-Test (AIT) di dalam negeri,” kata bapak tiga anak ini.

Dengan strategi ini, BRIN tidak hanya berupaya menjawab tantangan persaingan global, tetapi juga membangun fondasi untuk kemandirian teknologi antariksa Indonesia.

“Satelit seperti SNL dan rencana konstelasi LEO kami adalah langkah menuju ekosistem yang kuat, yang tidak hanya mendukung konektivitas, tetapi juga observasi bumi dan pengawasan maritim,” pungkas Wahyudi.

Kolaborasi dengan Swasta: Fondasi Ekosistem Satelit

Menyiasati Persaingan dengan Starlink

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi