Satelit Nusantara Lima: Jembatan Digital Menuju Indonesia Digital 2045

Posted on

Indonesia terus melangkah menuju visi Indonesia Digital 2045, di mana transformasi digital menjadi tulang punggung kemajuan bangsa. Salah satu kunci untuk mewujudkan visi ini adalah Satelit Nusantara Lima (SNL/N5), satelit Very High Throughput Satellite (VHTS) berkapasitas lebih dari 160 Gbps yang digadang menjadi “jembatan digital” bagi wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Satelit yang dikembangkan PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) bersama Boeing ini dirancang dengan teknologi Ka-band spot beam sekitar 101 beam dan akan beroperasi dari slot orbit 113 derajat bujur timut mulai April 2026.

Dengan masa desain lebih dari 15 tahun, SNL diharapkan mampu menyediakan akses internet berkecepatan tinggi untuk beragam kebutuhan, mulai dari backhaul BTS/USO, konektivitas sekolah dan puskesmas, hingga layanan publik di daerah yang sulit dijangkau serat optik.

“Kapasitas besar SNL dan jangkauan spot beam-nya sangat strategis untuk memperluas akses internet di wilayah 3T. Ini mendukung percepatan dan pemerataan inklusi digital, yang menjadi pilar penting menuju Indonesia Digital 2045,” ujar Wahyudi Hasbi, Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN, saat berbincang dengan infoINET di sela-sela peluncuruan SNL di Cape Canaveral, Florida, AS.

Bayangkan pelajar di pelosok Papua yang bisa mengakses pembelajaran daring, atau puskesmas di pulau terpencil yang terhubung dengan sistem kesehatan digital. SNL memungkinkan semua ini dengan menyediakan konektivitas andal melalui teknologi VSAT untuk rumah tangga dan infrastruktur telekomunikasi lainnya.

Tak hanya untuk kebutuhan domestik, SNL juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemain kunci dalam teknologi satelit di Asia. Dengan kapasitas lebih dari 160 Gbps, dikombinasikan dengan satelit Indonesia lainnya, negeri ini memiliki salah satu kapasitas satelit terbesar di kawasan.

“Ini memperkuat posisi Indonesia dalam teknologi satelit regional, sekaligus membuka peluang untuk memberikan konektivitas bagi negara tetangga,” tambah Wahyudi.

Keberadaan SNL juga menunjukkan komitmen Indonesia untuk bersaing di panggung global, termasuk dengan konstelasi satelit seperti Starlink yang telah beroperasi di Indonesia sejak Mei 2024. Layanan satelit GEO VHTS seperti SNL dinilai dapat saling melengkapi dengan satelit LEO global, dengan prioritas pada penguatan kapasitas nasional.

BRIN juga aktif mengatasi kesenjangan kapasitas satelit di wilayah 3T melalui strategi seperti pembangunan satelit VHTS baru, optimalisasi spektrum, dan pendekatan hibrid dengan serat optik. Wahyudi menekankan bahwa kesenjangan kapasitas sekitar 1 Tbps dapat dikurangi bertahap dengan kombinasi teknologi ini.

Lebih jauh, BRIN memiliki visi jangka panjang untuk mengembangkan Satelit Konstelasi Nusantara, sebuah program satelit nasional multimisi yang mencakup observasi bumi, pengawasan maritim, dan komunikasi.

“Kami juga sedang mengembangkan satelit LEO untuk mendukung pembangunan nasional, melanjutkan pengalaman dari tiga satelit LEO sebelumnya yang masih beroperasi,” ungkap pria kelahiran Biak ini.

Kolaborasi dengan sektor swasta seperti PSN dan Telkom, serta komunitas akademik, menjadi kunci untuk mencapai kemandirian teknologi satelit. BRIN membuka peluang co-development melalui riset bersama, pelatihan SDM, dan pemanfaatan fasilitas Assembly-Integration-Test (AIT) di dalam negeri.

“Harapannya, dalam waktu tidak terlalu lama, Indonesia memiliki industri manufaktur satelit sendiri,” tutur Wahyudi.

Meski penuh potensi, pengembangan infrastruktur satelit nasional tidak lepas dari tantangan, terutama soal investasi. “Awareness untuk investasi di bidang antariksa, baik dari pemerintah maupun swasta, masih perlu ditingkatkan,” kata bapak tiga anak ini.

Untuk mengatasinya, BRIN menggiatkan kampanye tentang potensi space economy, yang diprediksi mencapai nilai global USD 1,8 triliun pada 2035, bersama Bappenas dan asosiasi profesi.

“BRIN mengatasinya semua tantangan lewat hilirisasi riset, program pelatihan SDM dengan kampus dan industri, serta kontribusi dalam penyusunan kebijakan antariksa yang relevan,” pungkas Wahtudi.

Perkuat Posisi Indonesia di Asia

Dukungan Riset untuk Ekosistem Satelit Nasional

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

BRIN juga aktif mengatasi kesenjangan kapasitas satelit di wilayah 3T melalui strategi seperti pembangunan satelit VHTS baru, optimalisasi spektrum, dan pendekatan hibrid dengan serat optik. Wahyudi menekankan bahwa kesenjangan kapasitas sekitar 1 Tbps dapat dikurangi bertahap dengan kombinasi teknologi ini.

Lebih jauh, BRIN memiliki visi jangka panjang untuk mengembangkan Satelit Konstelasi Nusantara, sebuah program satelit nasional multimisi yang mencakup observasi bumi, pengawasan maritim, dan komunikasi.

“Kami juga sedang mengembangkan satelit LEO untuk mendukung pembangunan nasional, melanjutkan pengalaman dari tiga satelit LEO sebelumnya yang masih beroperasi,” ungkap pria kelahiran Biak ini.

Kolaborasi dengan sektor swasta seperti PSN dan Telkom, serta komunitas akademik, menjadi kunci untuk mencapai kemandirian teknologi satelit. BRIN membuka peluang co-development melalui riset bersama, pelatihan SDM, dan pemanfaatan fasilitas Assembly-Integration-Test (AIT) di dalam negeri.

“Harapannya, dalam waktu tidak terlalu lama, Indonesia memiliki industri manufaktur satelit sendiri,” tutur Wahyudi.

Meski penuh potensi, pengembangan infrastruktur satelit nasional tidak lepas dari tantangan, terutama soal investasi. “Awareness untuk investasi di bidang antariksa, baik dari pemerintah maupun swasta, masih perlu ditingkatkan,” kata bapak tiga anak ini.

Untuk mengatasinya, BRIN menggiatkan kampanye tentang potensi space economy, yang diprediksi mencapai nilai global USD 1,8 triliun pada 2035, bersama Bappenas dan asosiasi profesi.

“BRIN mengatasinya semua tantangan lewat hilirisasi riset, program pelatihan SDM dengan kampus dan industri, serta kontribusi dalam penyusunan kebijakan antariksa yang relevan,” pungkas Wahtudi.

Dukungan Riset untuk Ekosistem Satelit Nasional

Gambar ilustrasi