Praktik pembatasan kecepatan internet atau throttling menuai sorotan. Kebijakan ini dinilai menyimpan bahaya laten yang bukan hanya merugikan pengguna, tetapi juga bisa melemahkan keamanan siber nasional dan menekan pertumbuhan ekonomi digital.
Pengamat keamanan siber dan ketahanan, Ardi Sutedja K., menegaskan, pembatasan kecepatan internet tidak hanya berdampak kepada pengguna saja, melainkan bisa merambat ke segala aspek secara luas.
“Ketika pemerintah atau penyedia jasa internet membatasi kecepatan akses, mereka secara tidak langsung menciptakan kerentanan sistemik yang dapat dieksploitasi oleh aktor jahat,” ujar Ardi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/9/2025).
Ia mencontohkan bagaimana keterlambatan kecil dapat menimbulkan konsekuensi besar. Negara dengan infrastruktur digital kuat seperti Estonia dan Korea Selatan, kata Ardi, bisa menjadi korban serangan siber. Sedangkan, Indonesia yang masih berjuang dalam membangun ketahanan siber bisa kena getahnya juga jika menerapkan praktik throttling.
“Bayangkan sebuah sistem pertahanan siber nasional yang terpaksa beroperasi dengan kemampuan terbatas akibat throttling-pembaruan keamanan tertunda, deteksi ancaman melambat, dan respons terhadap serangan menjadi tidak memadai,” tuturnya.
Dampaknya, kata Ardi, juga terasa dalam ekosistem ekonomi digital. Sektor perbankan, startup teknologi, hingga investasi asing bisa terhambat akibat kualitas internet yang tidak stabil.
“Bagaimana mungkin kita mendorong inklusi keuangan melalui fintech dan perbankan digital jika infrastruktur yang mendasarinya tidak dapat diandalkan?” katanya.
Menurutnya, penerapan pembatasan internet justru memperburuk situasi. “Throttling internet, alih-alih meningkatkan keamanan, justru menciptakan titik-titik kerentanan baru yang dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak yang berniat jahat,” tegas Ardi.
Ia pun memberikan pandangan dengan peringatan keras tentang arah kebijakan digital Indonesia. Disampaikannya, Indonesia memiliki semua elemen yang diperlukan untuk menjadi pemimpin digital regional-populasi muda yang melek teknologi, ekosistem startup yang dinamis, dan pasar konsumen digital yang berkembang pesat.
Ardi juga menambahkan yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan yang memungkinkan, bukan menghambat, potensi ini untuk berkembang. Dengan meninggalkan praktik throttling dan mengadopsi pendekatan lebih progresif terhadap infrastruktur digital, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pusat inovasi dan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara dan lebih lagi.
“Masa depan Indonesia di era digital akan ditentukan oleh keputusan yang kita buat hari ini. Apakah kita akan terus menerapkan kebijakan throttling yang membatasi potensi kita, atau kita akan berani mengambil jalur yang berbeda-jalur yang mengarah pada ekosistem digital yang terbuka, aman, dan dinamis yang mendorong inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial?” pungkasnya.