Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman dan BOKU University di Wina telah mengungkap wawasan baru yang mengkhawatirkan tentang kesehatan biosfer Bumi.
Penelitian yang diterbitkan dalam One Earth ini, berfokus pada konsep ‘integritas biosfer fungsional’, yang mengacu pada kemampuan dunia tumbuhan untuk mempertahankan proses-proses vital seperti siklus karbon, air, dan nitrogen.
Studi tersebut menunjukkan bahwa 60% daratan dunia saat ini berisiko, dengan sebagian besar menghadapi zona berisiko tinggi. Para peneliti menggunakan berbagai metrik untuk menilai bagaimana dampak manusia terhadap daratan telah memengaruhi biosfer global, menghubungkan efek-efek ini dengan makin dekatnya ‘kiamat’ akibat masalah-masalah seperti hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
“Ada kebutuhan yang sangat besar bagi peradaban untuk memanfaatkan biosfer untuk pangan, bahan baku, dan, di masa depan, juga untuk perlindungan iklim,” kata Fabian Stenzel, salah satu penulis utama studi tersebut, dikutip dari The Daily Galaxy.
“Oleh karena itu, semakin penting untuk mengukur beban yang telah kita berikan pada biosfer untuk mengidentifikasi kelebihan beban. Penelitian kami sedang membuka jalan untuk hal ini,” jelasnya.
Para peneliti menemukan bahwa sebagian besar daratan Bumi kini telah melewati ambang batas kritis, tidak lagi berada dalam zona aman yang diperlukan untuk menjaga stabilitas planet.
Temuan studi ini menunjukkan meningkatnya tekanan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia, terutama di sektor pertanian dan industri, terhadap biosfer. Eksploitasi berlebihan ini tidak hanya mengancam ekosistem alami tetapi juga proses-proses yang mengatur kehidupan di Bumi.
Peta inovatif dari studi ini menunjukkan gambaran yang gamblang tentang kesehatan planet ini. Hingga saat ini, 60% daratan global telah bergeser ke luar zona aman bagi integritas biosfer.
Khususnya, 38% daratan dunia kini dianggap berisiko tinggi, dengan wilayah-wilayah di Eropa, Asia, dan Amerika Utara khususnya rentan. Temuan ini juga menyoroti bahwa titik kritis bagi banyak ekosistem telah tercapai jauh sebelum dampak luas perubahan iklim menjadi nyata.
“Kerangka kerja ini kini secara gamblang menempatkan aliran energi dari fotosintesis pada vegetasi dunia di pusat proses-proses yang turut mengatur stabilitas planet,” Wolfgang Lucht, koordinator studi tersebut, menguraikan inti permasalahan.
Aliran energi vital dari tumbuhan ini, yang menopang kehidupan di Bumi, semakin teralihkan oleh aktivitas manusia, sehingga mengganggu siklus alami biosfer. Gangguan ini merupakan salah satu kontributor utama terhadap risiko yang kini dihadapi ekosistem di seluruh dunia.
Studi ini melampaui tren terkini, menawarkan pandangan historis tentang integritas biosfer sejak abad ke-17. Dengan melacak penggunaan lahan dan perubahan iklim sejak awal 1600, para peneliti berhasil mengidentifikasi peningkatan tekanan pada biosfer Bumi sejak industrialisasi.
Pada 1900-an, hampir 37% lahan sudah berada di luar zona aman, dan 14% berada dalam kondisi berisiko tinggi. Perspektif jangka panjang ini menunjukkan bahwa tantangan yang kita hadapi saat ini bukan semata-mata akibat perubahan iklim modern, melainkan akibat alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya selama berabad-abad.
Degradasi ekosistem alam yang terus berlanjut, terutama akibat ekspansi industri dan pertanian, telah mendorong planet ini semakin dekat dengan kehancuran ekologis.
Johan Rockström, direktur di Potsdam Institute for Climate Impact Research, menekankan bahwa peta baru ini merupakan terobosan ilmiah yang krusial. Ia mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk mengadopsi pendekatan terpadu terhadap isu-isu lingkungan.
“Pemerintah harus memperlakukannya sebagai satu isu menyeluruh: perlindungan biosfer yang komprehensif bersama dengan aksi iklim yang kuat,” tegasnya.
Seruan untuk tindakan segera ini menggarisbawahi semakin diakuinya pentingnya melindungi biosfer Bumi untuk mitigasi perubahan iklim.
Studi ini menyoroti peran penting penyerap karbon alami dan keanekaragaman hayati dalam mengatur iklim, menekankan perlunya kebijakan internasional yang lebih kuat yang bertujuan untuk memitigasi perubahan iklim sekaligus menjaga kesehatan biosfer.