Studi terbaru menduga bahwa manusia purba Hobbit yang ditemukan di Pulau Flores sebenarnya berasal dari Sulawesi. Para peneliti menemukan bukti hunian hominin di sana hingga 1,5 juta tahun yang lalu.
Saat ini belum jelas spesies leluhur mana yang hadir di pulau Indonesia pada titik awal sejarah, tetapi perjalanan dari daratan Asia Tenggara ke Sulawesi mungkin adalah bukti pertama manusia menyeberangi lautan.
Sudah diketahui umum bahwa hominin Pleistosen berlayar melalui kepulauan Wallacea, dengan artefak di Flores yang berasal dari 1,02 juta tahun yang lalu. Fosil-fosil Homo floresiensis yang mungil juga telah ditemukan, sementara spesies mungil serupa yang disebut Homo luzonensis meninggalkan sisa-sisanya di Pulau Luzon di dekatnya.
“Kami selalu menduga bahwa Hobbit asli sebenarnya berasal dari Sulawesi,” kata Dr Adam Brumm dari Griffith University kepada IFLScience dilansir Jumat (8/8/2025).
Dia menambahkan bahwa ia dan rekannya, Budianto Hakim, telah menghabiskan waktu puluhan tahun mencari bukti bahwa manusia telah mencapai pulau itu sebelum mereka tiba di Flores. Akan tetapi, hingga sekian lama, belum pernah ada yang menemukan perkakas batu di Sulawesi yang berusia lebih dari 194.000 tahun.
Namun, semua itu berubah ketika penulis studi menemukan serangkaian tujuh perkakas rijang di ladang jagung di Sulawesi bagian selatan. Dengan menganalisis usia sedimen di sekitarnya dan fosil rahang babi yang ditemukan di samping artefak tersebut, para peneliti menghitung bahwa benda-benda batuan tersebut dibuat oleh hominin purba antara 1,04 dan 1,48 juta tahun yang lalu.
Yang terpenting, perkakas-perkakas ini lebih tua daripada artefak paling awal yang diketahui di Flores, menunjukkan bahwa hominin prasejarah mungkin telah mencapai Sulawesi sebelum melanjutkan perjalanan ke pulau yang lebih kecil, yang terletak ratusan kilometer di selatan.
“Saya pikir kita memiliki bagian lain dari teka-teki ini yang membuatnya agak lebih mungkin bahwa Sulawesi adalah titik asal manusia purba di Flores. Tetapi, sampai kita menemukan fosil hominin di Sulawesi sendiri, kita tidak dapat mengatakan siapa yang membuat peralatan batu tersebut dan apakah teori itu benar,” ujar Dr Brumm.
Saat ini, hipotesis utama adalah bahwa H. floresiensis merupakan keturunan dari populasi Homo erectus yang menyeberang dari daratan sebelum menjalani proses evolusi yang dikenal sebagai dwarfisme pulau. Apakah penduduk Sulawesi awal ini memiliki warisan yang sama atau mengalami perubahan morfologi yang serupa saat ini mustahil untuk dipastikan, karena ilmuwan belum menemukan sisa-sisa manusia yang terkait dengan peralatan batu ini.
Terlepas dari identitas para pembuat alat kuno tersebut, Brumm mengatakan mereka kemungkinan besar tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membuat perahu. Dengan kata lain, mereka menyeberangi pulau tidak memakai perahu melainkan memakai cara lain.
“Untuk menyeberang dari daratan Asia ke Sulawesi, mereka harus menyeberangi celah laut yang cukup signifikan, dan bagaimana mereka melakukannya tidak diketahui secara pasti,” jelasnya.
“Saya pikir keterampilan kognitif yang dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi maritim, menciptakan perahu, dan melakukan pelayaran terencana pastilah melampaui kemampuan manusia purba ini,” sambungnya. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa penyeberangan samudra awal ini mungkin terjadi secara tidak sengaja.
Dengan demikian, meskipun penemuan ini membantu mengisi beberapa celah dalam pemahaman kita tentang perjalanan manusia melintasi Wallacea, Brumm mengatakan bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
“Siapakah mereka, apa yang terjadi pada mereka setelah mereka tiba, dan apa yang terjadi setelah spesies kita pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ketika kita pertama kali menjajah Sulawesi sekitar 65.000 tahun yang lalu? Apakah populasi sebelumnya masih menetap di pulau itu pada saat itu, atau apakah mereka telah punah sebelumnya? Dan jika tidak, bagaimana sifat interaksi antara kita dan mereka?” renungnya. Studi ini telah dipublikasikan di jurnal Nature.
Hipotesis utama dugaan manusia Hobbit aslinya dari Sulawesi
Saat ini, hipotesis utama adalah bahwa H. floresiensis merupakan keturunan dari populasi Homo erectus yang menyeberang dari daratan sebelum menjalani proses evolusi yang dikenal sebagai dwarfisme pulau. Apakah penduduk Sulawesi awal ini memiliki warisan yang sama atau mengalami perubahan morfologi yang serupa saat ini mustahil untuk dipastikan, karena ilmuwan belum menemukan sisa-sisa manusia yang terkait dengan peralatan batu ini.
Terlepas dari identitas para pembuat alat kuno tersebut, Brumm mengatakan mereka kemungkinan besar tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membuat perahu. Dengan kata lain, mereka menyeberangi pulau tidak memakai perahu melainkan memakai cara lain.
“Untuk menyeberang dari daratan Asia ke Sulawesi, mereka harus menyeberangi celah laut yang cukup signifikan, dan bagaimana mereka melakukannya tidak diketahui secara pasti,” jelasnya.
“Saya pikir keterampilan kognitif yang dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi maritim, menciptakan perahu, dan melakukan pelayaran terencana pastilah melampaui kemampuan manusia purba ini,” sambungnya. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa penyeberangan samudra awal ini mungkin terjadi secara tidak sengaja.
Dengan demikian, meskipun penemuan ini membantu mengisi beberapa celah dalam pemahaman kita tentang perjalanan manusia melintasi Wallacea, Brumm mengatakan bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
“Siapakah mereka, apa yang terjadi pada mereka setelah mereka tiba, dan apa yang terjadi setelah spesies kita pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ketika kita pertama kali menjajah Sulawesi sekitar 65.000 tahun yang lalu? Apakah populasi sebelumnya masih menetap di pulau itu pada saat itu, atau apakah mereka telah punah sebelumnya? Dan jika tidak, bagaimana sifat interaksi antara kita dan mereka?” renungnya. Studi ini telah dipublikasikan di jurnal Nature.