Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) turut menyampaikan pandangan terkait penyedia layanan Over The Top (OTT) di Indonesia. Sebelumnya, asosiasi lainnya telah mengungkapkan suaranya terkait dinamika tersebut.
Isu mengenai pembatasan layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) seperti WhatsApp call dan aplikasi OTT sempat menimbulkan kekhawatiran publik, meskipun langsung dibantah oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid bahwa pemerintah tidak akan melakukan pembatasan.
Ketua Umum Apnatel Triana Mulyatsa Ketu mengatakan bahwa yang diperjuangkan oleh asosiasi ini bukanlah pembatasan terhadap akses layanan digital masyarakat, melainkan penataan yang adil terhadap hubungan antara layanan OTT global dan penyelenggara telekomunikasi lokal di Indonesia.
Apnatel menyoroti ketidakseimbangan kontribusi antara platform OTT asing yang telah lama menguasai pasar Indonesia dengan penyelenggara telekomunikasi lokal.
“Kita bukan sedang menolak kemajuan teknologi, perkembangan dan kemajuan teknologi harus kita terima dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi soal keadilan perlu menjadi pertimbangan,” ujarnya dikutip dari pernyataan tertulisnya, Kamis (24/7/2025).
Ia menambahkan, jika pemain OTT global berkontribusi, maka penetrasi jaringan akan lebih cepat dilakukan dan mengguna OTT juga akan semakin besar.
Apnatel kemudian memaparkan sejumlah negara yang telah menerapkan penataan OTT. Misalnya Netflix di Korea Selatan dikenakan kewajiban membayar network usage fee kepada operator lokal. Kemudian, Uni Eropa mewajibkan platform digital global untuk tunduk pada aturan transparansi algoritma, moderasi konten, dan bertanggung jawab sesuai hukum di masing-masing negara anggota.
Tetangga Indonesia, yaitu Vietnam, menerapkan regulasi di mana setiap OTT asing memiliki kantor perwakilan di dalam negeri dan beroperasi di bawah hukum nasional. Selain itu, Australia lebih jauh lagi mengatur model nilai ekonomi digital melalui News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code, yang mewajibkan platform seperti Google dan Meta untuk membayar royalti kepada media lokal.
Disampaikannya bahwa praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal kedaulatan digital. Apnatel mendesak pemerintah turut penataan OTT asing agar berkontribusi dan tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia.
“Regulasi terkait OTT Asing perlu segera dibuat bukan semata dilihat dari sisi bisnis Telco dan penyelenggara jaringan maupun pendapatan negara dari pajak dan lisensi, tetapi terkait perlindungan data pribadi, juga data dan informasi penting terkait keamanan negara maupun demi kedaulatan digital,” pungkasnya.