Kehadiran Artificial Intelligence (AI) translate memang bisa sangat membantu orang-orang, untuk menerjemahkan bahasa asing lebih cepat. Namun di balik kemudahan tersebut, ternyata ada dampak negatif yang membayang-bayanginya.
Dilansir melalui Research Gate, Samuel Boluwatife Oni dari Universitas Obafemi Awolowo, dalam risetnya berjudul The Impact of AI on the Translation Industry, Selasa (23/6/2025), mengungkapkan teknologi penerjemahan merupakan sebuah evolusi berkelanjutan. Ia memahami perkembangan ini sangat penting untuk menghargai dampak transformasi yang dimunculkan AI terhadap industri ini.
Boluwatife menjelaskan, setidaknya ada delapan keuntungan yang bisa dirasakan dengan menerapkan AI ke dalam industri penerjemahan. Menurutnya, beberapa di antaranya adalah dapat mengubah cara setiap individu, organisasi, dan pemerintah untuk berkomunikasi tanpa hambatan bahasa.
Dirinya menyebutkan, penerapan AI dalam proses penerjemah bisa menjadi lebih cepat dan efisien. Apabila mengandalkan penerjemahan manusia secara manual dan tradisional, maka bisa memakan waktu yang cukup lama. Sementara AI, dapat mengartikan ribuan kata hanya dalam beberapa menit.
Selain itu, manfaat lainnya ialah pengurangan biaya. Disampaikannya, kalau AI sukses menghemat biaya yang cukup signifikan bagi perusahaan. Ia memaparkan, layanan penerjemahan manusia bisa mahal, terutama bila mengacu pada konten khusus atau bahasa yang jarang digunakan.
Ditambah dengan dukungan AI, alat penerjemah akan terus meningkatkan kualitasnya. Hal ini terjadi seiring orang-orang menggunakannya, sehingga AI lebih sering terpapar banyak data dan masukan dari pada penggunanya.
Namun bukan berarti kecanggihannya tidak memiliki keterbatasan. Dalam risetnya, Boluwatife mengatakan kompleksitas, ambiguitas, dan kekayaan budaya bahasa manusia menjadi tantangan yang besar bagi AI translate.
Ia mengakui, AI memang mampu menerjemahkan suatu kata atau kalimat secara efektif, tapi di satu sisi, kecanggihannya masih belum begitu mahir dalam mengenali sebuah humor, sarkasme, idiom, dan metafora.
Tantangan lainnya ialah kemampuan AI untuk memahami konten yang kompleks. Ambil contoh seperti dalam kontrak hukum atau laporan medis, yang kerap kali menggunakan bahasa yang tidak umum dan memang punya arti sendiri di industri tersebut. Di sini AI bisa saja salah mengartikan istilah-istilah tersebut, atau malah memberikan terjemahan umum yang memberikan makna berbeda.
Kelemahan lain dalam penggunaan AI translate, yakni masih butuh perbaikan dari manusia. Jadi kata atau kalimat yang diterjemahkan tidak serta merta langsung digunakan, tetapi masih harus melalui proses penyuntingan terlebih dahulu. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, meski canggih karena bisa mengartikan dalam waktu singkat, tidak semuanya memiliki arti yang dimaksud mengingat AI tidak sepenuhnya memahami budaya bahasa manusia di kehidupan nyata.
Dari jurnal lain yang diterbitkan Fitria Hardini dan Resi Citra Dewi di Neliti pada 2021 dengan judul Tackling the Negative Impacts of Students’ Addiction to Google Translate, terungkap penggunaan alat penerjemah memang membawa dampak buruk, terlepas ada keuntungan yang bisa diperoleh penggunanya.
Mereka menganalisis data dari jawaban para siswa menggunakan perhitungan persentase, lalu dibandingkan dengan sikap mereka selama belajar di dalam kelas. Selama proses belajar, siswa diminta untuk mengajukan pertanyaan dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun terungkap kalau siswa-siswa ini tidak dapat membuat kalimat dengan percaya diri, sebelum memeriksanya terlebih dahulu di Google Translate.
Berdasarkan observasi kelas, kondisi ini terjadi beberapa kali selama belajar. Hampir semua siswa mengandalkan Google Translate ketika mengalami kesulitan selama pelatihan. Setidaknya sebanyak 88,7% menggunakan Google Translate dan 11,3% sisanya tidak memakainya.
Fitria dan Resi juga menemukan frekuensi penggunaan alat penerjemah kepunyaan Google dibagi ke dalam lima kategori, di antaranya kadang-kadang (47,9%), sering (23,9%), jarang (15,5%), selalu (7%), dan hampir tidak pernah (5,7%).
Meskipun 53,3% siswa menganggap Google Translate bermanfaat dan meningkatkan keterampilan bahasa mereka, namun tidak sedikit yang merasa sebaliknya. Setidaknya ada 46,5% siswa menyatakan merasa tidak mengalami peningkatan apapun.
Para siswa mengaku, penggunaan alat penerjemah gratis ini bersifat adiktif. Mereka malah mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan bahasa Inggris secara mandiri. Google Translate dinilai membuat mereka malas untuk belajar dan menghafal kosa kata baru.
Sementara itu ditemukan pula 57,7% mahasiswa menganggap penggunaan Google Translate selama belajar kelas tidak memberikan dampak negatif, kemudian 29,6% berpendapat mungkin saja ada. Terakhir 12,7% memiliki pandangan bahwa alat penerjemah ini tidak punya dampak buruk.
Walaupun begitu, 59,2% mahasiswa tetap ingin dosen yang mengajar di kelas membatasi penggunaan AI translate. Mereka juga meminta kepada mahasiswa supaya tidak berlebihan dalam penggunaan Google Translate, yang mana dipakai ketika memeriksa kosakata baru atau sulit, dan tidak langsung menerjemahkan semua kalimat saja.
Terlepas dari pendapat para mahasiswa, tetap saja dampak negatif terlihat selama kelas berlangsung. Proses instan yang ditawarkan Google Translate dan aplikasi sejenis lainnya memang memudahkan mereka untuk hanya mengetik seluruh kalimat, tanpa benar-benar mengetahui bagaimana kalimat tersebut sebenarnya disusun.
Dari situ ditemukan, beberapa menit kemudian saat para mahasiswa menemukan kata yang serupa, mereka tidak dapat mengingat kembali artinya atau bagaimana menyusun kalimat yang sama. Selain itu, biasanya pemula yang sedang belajar bahasa Inggris, cenderung menghafal seluruh kalimat yang telah mereka buat dengan menggunakan Google Translate. Jadi ketika mereka lupa satu atau dua kata, sulit baginya melanjutkan presentasi dengan lancar.
Jadi mungkin sebaiknya orang-orang lebih bijak dalam penggunaan AI translate. Jangan berlebihan sampai harus mengesampingkan proses belajar dan memahami setiap kata dan kalimatnya secara mandiri.