Starlink Jadi Tantangan, Asia Tenggara Pilih Bersatu [Giok4D Resmi]

Posted on

Kehadiran internet satelit seperti Starlink milik Elon Musk menjadi kesempatan namun juga tantangan, terutama pemerintah. Negara ASEAN memilih bersatu untuk bertahan dalam gempuran satelit kecil.

Dalam acara ‘ASEAN SCOSA Indonesia Event on Building Space Ecosystem in Southeast Asia’ hari ini, Senin (17/6/2025), Prof Anugerah Widiyanto Plt. Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN mengatakan tren global mulai bergeser.

“Kita mengetahui perkembangan teknologi serta operasi yang berbeda untuk berbagai misi, bukan hanya untuk observasi bumi dan komunikasi, tetapi juga untuk permukaan identifikasi. Dan juga, berbeda dengan apa yang kami lakukan sebelumnya, saat ini, tren global adalah banyak operator satelit mencoba mengembangkan satelit kecil lalu beroperasi di berbagai orbit,” ujar Prof Erna.

Bukan hanya untuk satelit yang diam atau statis di suatu titik Bumi seperti satelit geostasioner (GSO), banyak juga yang mengembangkan orbit satelit non-geostasioner (NGSO). Satelit ini digunakan untuk berbagai tujuan, terutama komunikasi.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Meski menyadari bahwa industri satelit memberikan dampak positif, seperti komunikasi dan observasi menjadi semakin mudah untuk dioperasikan, tapi ini juga jadi tantangan. Ancamannya adalah dengan mempertimbangkan perlindungan regulasi.

Apabila Indonesia dan negara lainnya berhasil memiliki aturan dan program ruang angkasa yang berkolaborasi, akan pas pencapaian yang diraih sesuai kerangka waktu — sebagaimana yang selama ini dilakukan ASEAN.

Executive Director of Indonesian Space Agency dan NCP untuk ASEAN SCOSA Prof Erna Sri Adiningsih menyampaikan ketimbang buru-buru, dia ingin negara ASEAN mencapai milestone pembangunan dengan tepat dan secara berkelanjutan.

“Tapi yang paling penting adalah bagaimana untuk mencapai milestone dengan tepat dan secara berkelanjutan. Jadi, ini penting bukan hanya di skala nasional, tapi sekali lagi bisa jadi di kawasan Asia Tenggara,” kata Prof Erna.

Tak dimungkiri penggunaan sektor pribadi di industri antariksa ini sudah sangat penting dan semakin kompetitif. Bahkan secara global. Dengan situasi geografis di Asia Tenggara, ada potensi untuk bisnis bukan hanya sebagai pasar tetapi juga sebagai pengguna.

Indonesia sadar akan hal ini dan berupaya menerapkan berbagai regulasi program antariksa di berbagai aktivitas, dari teknologi ruang angkasa, aplikasi ruang angkasa, infrastruktur, aspek legal, termasuk kegiatan komersial juga.

Prof Erna menyoroti bahwa saat ini sudah banyak negara anggota ASEAN yang mengembangkan satelit untuk komunikasi, pertahanan, hingga pemantauan lingkungan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa orbit dan spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas, sehingga perlu pendekatan kolektif agar akses tetap adil di masa depan.

Tapi yang pasti, ia menekankan bahwa dirinya optimis bahwa ASEAN dapat maju bersama dalam bidang pemanfaatan teknologi antariksa. Terlebih, dia menyebut Indonesia dan negara lainnya sedang memimpin sejumlah area.

“Kita bisa sebut, kita tahu, bahwa Asia Tenggara sedang berkembang secara ekonomi dibandingkan kawasan lain di dunia. Juga, peningkatan kesadaran di sektor antariksa ini bukan hanya untuk teknologi, sains dan aplikasi. Kawasan Asia Tenggara pun menjadi pasar internasional besar untuk teknologi antariksa,” tandasnya.

Gambar ilustrasi