Dibandingkan dengan India, Indonesia terbilang tertinggal dalam urusan bidang antariksa. Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) mengungkapkan persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pernah mengungkapkan Pulau Biak dinilai cocok menjadi lokasi pembangunan bandara antariksa. Namun sampai saat ini kabar tersebut belum lagi terdengar.
Secara geografis, Indonesia yang merupakan negara kepulauan, membutuhkan satelit sebagai sarana alternatif menghadirkan telekomunikasi, khusus akses internet, guna menjangkau daerah pelosok yang tidak bisa dicapai oleh infrastruktur daratan: kabel optik, base transceiver station (BTS).
Adapun sejauh ini, Indonesia masih mengandalkan perusahaan asing, baik dari sisi pembuatan satelit, peluncur, hingga lokasi penerbangan wahana tersebut sampai ke luar angkasa.
Sekretaris Jenderal ASSI Sigit Jatiputro mengatakan, dalam kondisi ekonomi saat ini yang di mana satu negara dengan negara lainnya yang mengikat dinilai sulit membuat bandara antariksa secara mandiri.
“Sejujurnya di ekonomi sekarang yang saling mengikat, saling jalin-menjalin hampir sulit membangun 100% baik kita sendiri, tapi kadang-kadang nggak (faktor) ekonomi saja,” ujar Sigit di Jakarta, Senin (2/6/2025).
“Menurut saya mungkin tahapnya kalau kita boleh bikin tahap-tahapan 100% itu adalah di tahap yang paling akhir. Jadi, di tahap ini misalnya kita berhasil menunjukkan dulu dari dalam, kita buat fasilitasnya dulu, pengisian bahan bakar, gudang-gudang untuk penyimpanan satelit, assembling gitu-gitu tahapannya,” lanjutnya.
Namun sebelum itu, Sigit mengatakan, Indonesia bisa memulai dari riset yang berkaitan dengan antariksa atau membuat produk yang bersangkutan di dalam negeri.
“Kira-kira itu kita berharap inovasi-inovasinya ada di situ. Nanti perlahan-perlahan menuju ke sana (Indonesia punya bandara antariksa) yang penting kita mulai di tahun-tahun ini sampai lima tahun ke depan. Cita-cita itu tetap ada,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum ASSI Anggoro K Widiawan menyebutkan, pembuatan bandara antariksa Indonesia bisa dimulai juga dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara.
Disampaikannya, untuk membuat satelit, kompleks peluncurannya, termasuk kendaraan peluncurnya itu dinilai sangat sulit dilakukan secara mandiri. Kolaborasi bisa menjadi salah satu kunci menjawab persoalan tersebut.
“Makanya kuncinya kolaboratif, inklusif. Kita punya negara-negara tetangga kita, ada Malaysia, Singapura. Kita bisa ajak kolaborasi, saling mengisi, kamu berapa persen, kamu berapa persen. Nah, inilah yang kemudian kita bangun, kenapa kita butuh forum-forum seperti ini untuk bisa membangun mimpi kita, mewujudkan pelan-pelan,” kata Anggoro.
Sebagai informasi, ASSI kembali menggelar Asia Pasific Satellite Conference (Apsat) yang sudah memasuki usia ke-21. Di tahun ini mengangkat tema ‘Innovating Satellite Ecosystems: Unlocking Value through Collaboration and Technological Advancements’, menyoroti pentingnya sinergi antara inovasi teknologi, kebijakan berkelanjutan, dan kolaborasi regional untuk membangun ekosistem satelit yang tangguh dan inklusif.
“Apsat telah menjadi benchmark penting bagi pengembangan industri satelit di Asia Pasifik. Setiap tahun, kita tidak hanya menyaksikan kemajuan teknologi, tetapi juga tumbuhnya kolaborasi strategis antarnegara dan sektor,” pungkas Anggoro.