Bakteri penyebab demam tifoid berkembang dan membuatnya resisten dengan antibiotik yang sudah ada. Banyak manusia di zaman sekarang yang mengalami resistensi.
Menurut penelitian yang diterbitkan pada tahun 2022, bakteri penyebab demam tifoid mengembangkan resistensi obat yang luas, dan dengan cepat menggantikan strain yang tidak resistan.
Melansir ScienceAlert, Jumat (25/4/2025) saat ini, antibiotik merupakan satu-satunya cara efektif untuk mengobati tifus, yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S Typhi). Namun, selama tiga dekade terakhir, resistensi bakteri terhadap antibiotik oral telah berkembang dan menyebar.
Dalam penelitian mereka, para peneliti mengurutkan genom dari 3.489 strain S Typhi yang terinfeksi dari tahun 2014 hingga 2019 di Nepal, Bangladesh, Pakistan, dan India. Mereka menemukan peningkatan pada Typhi yang resistan terhadap obat secara ekstensif (XDR).
XDR Typhi tidak hanya kebal terhadap antibiotik lini pertama, seperti ampisilin, kloramfenikol, dan trimetoprim/sulfametoksazol, tetapi juga semakin resistan terhadap antibiotik yang lebih baru, seperti fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Lebih buruk lagi, strain ini menyebar secara global dengan sangat cepat.
Sementara sebagian besar kasus XDR Typhi berasal dari Asia Selatan, para peneliti telah mengidentifikasi hampir 200 kasus penyebaran internasional sejak tahun 1990.
Sebagian besar strain telah sampai ke Asia Tenggara, serta Afrika Timur dan Selatan. Namun bakteri super tifoid juga telah ditemukan di Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.
“Kecepatan munculnya dan penyebaran strain S Typhi yang sangat resistan dalam beberapa tahun terakhir merupakan penyebab nyata yang perlu dikhawatirkan, dan menyoroti perlunya segera memperluas langkah-langkah pencegahan, khususnya di negara-negara dengan risiko terbesar,” kata spesialis penyakit menular Jason Andrews dari Stanford University saat hasil penelitian tersebut dipublikasikan.
Para ilmuwan telah memperingatkan tentang tifus yang resistan terhadap obat selama bertahun-tahun. Pada tahun 2016, strain tifus XDR pertama diidentifikasi di Pakistan. Pada tahun 2019, strain tersebut telah menjadi genotipe dominan di negara tersebut.
Namun pada awal tahun 2000-an, mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap kuinolon mencakup lebih dari 85% dari semua kasus di Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, dan Singapura. Pada saat yang sama, resistensi terhadap sefalosporin juga mulai terjadi.
Saat ini, hanya ada satu antibiotik oral yang tersisa: makrolida, azitromisin. Bukan tak mungkin, bakal terjadi resistensi juga pada obat tersebut.
Menurut World Health Organization (WHO) pada 2018, diperkirakan 11-20 juta orang sakit karena typhoid. Antara 128.000 sampai 161.000 orang meninggal karena penyakit ini, di Asia dan Afrika adalah wilayah dengan kasus terbanyak.
Lebih lanjut, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-14 tahun (1,9%), diikuti oleh usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%), dan usia di bawah 1 tahun (0,8%). Ditunjukkan bahwa anak-anak (0-19 tahun) merupakan kelompok yang paling banyak mengalami tifoid di Indonesia.