Dokter Gadungan Bantul ‘Lulusan’ Internet: Bukti Pentingnya Second Opinion

Posted on

Dokter gadungan di Bantul asal memvonis korban dengan HIV dan masalah kesehatan mental mythomania. FE (26) asal Sragen, Jawa Tengah, bahkan cuma belajar dari internet untuk melancarkan modusnya.

“Cita-citanya dulu dokter, tapi tidak pernah daftar sekolah kedokteran. Kalau tahu pengetahuan soal dokter saya belajar dari internet,” ujarnya, dikutip infoINET dari infoJogja, Sabtu (20/9/2025).

Mencari second opinion atau opini kedua dari seorang profesional terkadang dibutuhkan. Bukan karena meragukan kompetensi dari sang dokter, tapi ada sejumlah hal lain yang dapat menjadi pertimbangan.

Marina Virko PhD Head of Medical department CMP Germed GmbH, Moenchengladbach, Jerman, menuliskan beberapa di antaranya.

“Seseorang dapat mengajukan pendapat kedua kapan saja dan untuk diagnosis apa pun jika terdapat keraguan tentang keakuratannya. Namun, ada situasi di mana pendapat kedua sangat dibutuhkan,” ujarnya di situs Medcons Online.

Skenarionya antara lain:

“Selain itu, pendapat kedua akan berguna ketika penjelasan dokter tidak cukup jelas dan informatif,” imbuh Virko.

Akan tetapi, Virko mencatat situasi terkecuali untuk mencari second opinion.

“Pendapat kedua jarak jauh tidak diperlukan untuk situasi akut yang membutuhkan perawatan mendesak. Untuk konsultasi medis yang lebih rinci dengan spesialis asing, sebaiknya pilih pada periode pemulihan dan rehabilitasi,” sarannya.

Sebelumnya diberitakan bahwa FE berhasil menipu warga Pedusan, Argodadi, Sedayu, Bantul dengan klaim mampu melakukan terapi. Adapun kerugian korban mencapai Rp 528 juta.

Perempuan lulusan SMA itu mengaku nekat menjadi dokter gadungan karena dari kecil ingin menjadi dokter. Namun, hingga saat ini FE sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan terkait ilmu kedokteran.

Beruntung, korban yang mulai tak percaya langsung mencari second opinion. Korban yang curiga atas diagnosa itu akhirnya mengecek ke RSUP dr. Sardjito. Ternyata, pasien negativ HIV.