London, Inggris, yang saat ini dikenal sebagai salah satu kota terbesar dan kota modern di dunia, pernah melalui masa kelam. Wabah ulat mengerikan pernah melanda wilayah ini.
Pada awal 1780-an, London merupakan tempat yang penuh gejolak. Di awal dekade tersebut, kerusuhan anti-Katolik, yang dikenal sebagai Gordon Riots (Kerusuhan Gordon), telah menyebabkan kekacauan di kota tersebut, menewaskan ratusan orang dan membakar banyak bagian kota.
Di seberang Atlantik, Revolusi Amerika sedang berlangsung, sehingga perhatian politik diarahkan ke Dunia Baru. Kemudian, hanya 18 bulan setelah Gordon Riots, muncul ancaman baru yang semakin menimbulkan keresahan bagi kota yang sedang dalam proses pemulihan, serangan ulat bulu.
Di seluruh kota dan pedesaan sekitarnya, dedaunan menghilang di bawah tumpukan sarang yang dibuat oleh Brown-tail moth caterpillars atau ulat ngengat ekor cokelat. Dalam kondisi normal, hal itu wajar. Namun saat itu, makhluk kecil ini berpotensi memicu kepanikan yang meluas karena mereka dilihat sebagai pertanda datangnya wabah atau kelaparan.
Seperti banyak momen yang kurang dikenal dalam sejarah, satu peristiwa aneh namun sangat menarik ini memberikan wawasan luar biasa tentang berbagai aspek kehidupan di Inggris pada akhir abad ke-18.
Kemunculan ulat bulu tidak hanya membingungkan orang, tetapi juga menyoroti kesenjangan dalam tingkat literasi dan pendidikan pada populasi yang lebih luas, dan seluruh kejadian tersebut memicu ‘perang’ keahlian dan pengetahuan yang sering kita lihat di media sosial saat ini.
Kisah tentang momen aneh di musim semi pada 1782 di London ini, baru-baru ini dipublikasikan dalam sebuah artikel oleh Johan Lidwell-Durnin, seorang sejarawan di Exeter University. Penilaian Lidwell-Durnin memberikan gambaran, betapa ketidaktahuan bisa membuat sebuah peristiwa menjadi mengerikan.
Ulat ngengat ekor cokelat merupakan ngengat dewasa berwarna putih dengan bulu cokelat yang sangat jelas di perut bagian bawahnya, karenanya dinamakan demikian. Mereka umumnya aktif antara Juli hingga Agustus di Inggris, dan bertelur sebanyak 150 hingga 250 butir di pohon dan tanaman seperti hawthorn, blackthorn, plum, ceri, mawar, dan blackberry.
Ketika ulatnya menetas, mereka mulai memakan tanaman inangnya tetapi juga mulai memintal anyaman, yang pada akhirnya akan menjadi kantong tidur seukuran ulat untuk menjaga mereka tetap hangat selama musim dingin. Kemudian, pada musim semi berikutnya, ulat bangun dan mulai makan lagi, menciptakan anyaman yang luas dan menelanjangi tanaman.
Secara umum, mereka adalah hama bagi siapa saja yang menanam tanaman ini, tetapi mereka sebagian besar tidak berbahaya. Hewan ini merontokkan bulu yang dapat menyebabkan iritasi dan ruam yang cukup parah pada kulit.
Mereka tentu saja tidak mampu menyebarkan wabah atau menyebabkan kematian massal. Namun tidak semua orang di London abad ke-18 mengetahui hal ini.
Kecuali seorang filsuf alam, mahasiswa kedokteran, atau petani, kebanyakan orang di London saat itu tidak memiliki banyak kesempatan untuk mempelajari tentang ulat ini. Jadi, ketika serangan ulat bulu muncul pada 1782, masyarakat sebagian besar mendengar berbagai cerita tentang mereka melalui surat kabar yang menggambarkan mereka sebagai pembawa penyakit dan cenderung dilebih-lebihkan.
Seorang pria bernama Gustavus Katterfelto memanfaatkan situasi ini, dan memainkan peran besar dalam membangkitkan perhatian publik. Katterfelto menerbitkan pemberitahuan sensasional yang menuduh ulat bulu itu membawa wabah dan kelaparan ke kota.
Katterfelto juga mengadakan pertunjukan dengan memproyeksikan gambar serangga yang diperbesar di dinding agar orang-orang dapat melihatnya, sambil juga menawarkan obat dan tonik yang dapat melindungi mereka dari penyakit yang diramalkannya.
Katterfelto adalah contoh bagaimana sains pada tahap ini bukanlah disiplin ilmu yang koheren yang dipraktikkan oleh sekelompok orang yang terlatih khusus di laboratorium, tetapi juga terikat dengan pertunjukan dan tontonan publik. Di sini, beberapa tokoh sains abad ke-18 yang terkenal berkompetisi dan tampil bersama sosok yang saat ini kita anggap sebagai dukun dan ilmuwan semu (pseudosains).
Ketidaktahuan membuat situasi makin kacau, dan wabah ulat bulu ini menunjukkan bagaimana otoritas ilmiah mulai menegaskan dirinya.
“Untuk meredakan api ketakutan, ahli entomologi, seperti William Curtis dan Joseph Banks, serta filsuf alam lainnya, menerbitkan pamflet yang mencoba menjelaskan sifat sebenarnya dari penyerbu yang menggeliat itu,” Lidwell-Durnin menjelaskan.
Pada akhirnya, tidak ada wabah dan kelaparan. Karena ramalan Katterfelto gagal terwujud, ia menjadi sosok yang lebih sering diejek dan disindir publik. Bagaimanapun, ini adalah periode ketika fenomena alam masih ditafsirkan sebagai penanda kekuatan yang lebih luas yang sedang terjadi di dunia.
“Serangga merupakan ancaman yang kuat, mereka datang tanpa peringatan, dan sebagian besar perdebatan publik adalah tentang apa yang mereka ramalkan mengenai masa depan yang dekat. Entomologi dan otoritas ilmiah hanya menyediakan satu cara untuk membaca tanda-tanda yang tertulis di atas pepohonan di kota metropolitan,” tulis Lidwell-Durnin dalam penelitiannya.
Dengan demikian, pada masa ini dalam sejarah, penafsiran yang diberikan oleh para cendekiawan, masih saja tidak selaras, seperti yang ditunjukkan oleh kemunculan ulat-ulat itu. Namun pelajaran pentingnya, masyarakat harus lebih percaya kepada sains jika tidak mau kekacauan terjadi.
Kalau Anda beranggapan, ah ini hanya kejadian di masa lalu, eits jangan salah. Kebingungan masyarakat menghadapi wabah atau potensi bencana alam masih terjadi di masa modern termasuk di Indonesia.
Di awal pandemi COVID-19, banyak bertebaran obat herbal yang diklaim bisa melawan coronavirus, padahal itu tidak ilmiah dan tidak terbukti. Justru masker menjadi pelindung utama sebelum ada vaksin. Demikian juga ketika ada ilmuwan merilis prediksi bencana alam, tapi malah dicibir. Ketika bencana alam sungguh terjadi, barulah kita menyesali bahwa semestinya kita menyiapkan mitigasi bencananya. Percaya kepada sains dan ilmuwan, kenapa tidak?