Hembusan partikel konstan dari Matahari mungkin menciptakan molekul air di Bulan, demikian petunjuk studi baru yang dipimpin NASA.
Para ilmuwan telah mendeteksi jejak molekul air, serta molekul hidroksil (OH), komponen air, di permukaan Bulan melalui beberapa misi luar angkasa. Sumber air ini telah lama menjadi misteri, meskipun beberapa teori menunjukkan adanya vulkanisme, keluarnya gas dari lapisan regolith Bulan yang lebih dalam (kombinasi batu dan debu di permukaan Bulan), dan pemboman oleh meteorit kecil.
Eksperimen NASA yang baru, yang dijelaskan pada 17 Maret di jurnal JGR Planets, menguji gagasan yang berbeda: bahwa angin Matahari berada di balik semua ini.
Dikutip dari Science Alert, Minggu (27/4/2025) angin Matahari adalah badai partikel bermuatan yang mengalir dari Matahari dengan kecepatan lebih dari 1,6 km/jam. Angin ini membombardir segala sesuatu di Tata Surya, termasuk Bumi, dan menyebabkan aurora berwarna-warni saat bertabrakan dengan molekul-molekul di atmosfer kita.
Magnetosfer planet kita melindungi kita dari dampak cuaca luar angkasa ini. Namun, Bulan memiliki medan magnet yang sangat lemah dan berbintik-bintik, sehingga kurang terlindungi.
Air terdiri dari atom hidrogen dan oksigen. Batuan dan debu yang membentuk permukaan Bulan mengandung banyak oksigen tetapi tidak banyak hidrogen. Angin Matahari sebagian besar terdiri dari proton, yaitu atom hidrogen yang kehilangan elektronnya.
Tanpa medan magnet yang kuat untuk melindunginya, angin Matahari menghantam permukaan Bulan setiap hari, menaburinya dengan proton yang mencuri atau meminjam elektron dari regolith Bulan untuk membentuk hidrogen yang dibutuhkan untuk membuat air.
Menurut NASA, air yang terdeteksi di Bulan mengikuti pola yang menarik, berubah dalam siklus harian. Daerah yang dihangatkan oleh Matahari melepaskan air sebagai uap, sementara daerah yang lebih dingin menahannya.
Jika sumber air adalah sesuatu seperti tabrakan mikrometeorit, kita mungkin memperkirakan air akan terus berkurang di daerah yang hangat hingga lebih banyak benturan terjadi. Namun, jumlah air yang terdeteksi kembali ke tingkat yang sama setiap hari, meskipun sebagian hilang ke luar angkasa. Hal ini membuat kemungkinan besar angin Matahari terlibat.
Untuk menguji teori ini, para peneliti mensimulasikan dampak angin Matahari yang menghantam Bulan menggunakan sampel regolith Bulan yang dikumpulkan oleh astronaut Apollo 17 pada 1972.
Mereka membangun akselerator partikel kecil dalam ruang hampa untuk meluncurkan ‘angin Matahari tiruan’ ke sampel selama beberapa hari, mensimulasikan dampak angin Matahari sungguhan yang menghantam Bulan selama 80 ribu tahun. Kemudian, mereka mengukur bagaimana susunan kimiawi sampel telah berubah, dan itu menunjukkan bukti adanya air yang sebelumnya tidak ada.
“Hal yang menarik di sini adalah bahwa hanya dengan tanah Bulan dan bahan dasar dari Matahari, yang selalu mengeluarkan hidrogen, ada kemungkinan terciptanya air,” kata penulis utama studi Li Hsia Yeo , seorang ilmuwan planet di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA.
Memahami bagaimana air terbentuk di Bulan penting bagi misi astronaut di masa mendatang, kata para peneliti. Es air yang tersimpan di kutub selatan Bulan dapat menjadi sumber daya penting bagi astronaut, misalnya.
Hasilnya juga memberikan wawasan tentang interaksi angin surya di luar Bulan. Benda langit lain yang tidak memiliki banyak atmosfer atau medan magnet juga dibombardir oleh angin surya, jadi mempelajari bagaimana lingkungan ini berubah dapat membantu kita memahami proses kimia angkasa yang menghasilkan atau menghilangkan air, bahan penyusun utama kehidupan.