Bencana ‘Chernobyl’ Ubah Permukaan Bumi dan Masih Bergerak Puluhan Tahun Kemudian

Posted on

Laut Aral yang kering di Asia Tengah terus naik karena mantel Bumi di bawahnya menonjol, menurut sebuah penelitian baru. Peningkatan ini disebabkan oleh bencana lingkungan yang mereka sebut ‘Chernobyl yang tenang’ yang melanda wilayah tersebut pada 1960-an.

Bencana ini bukan diakibatkan oleh kecelakaan rector nuklir seperti yang terjadi di Chernobyl, Ukraina pada April 1986, melainkan hal ini terjadi ketika manusia mengalihkan dua sungai yang mengalir ke Laut Aral untuk irigasi.

Laut Aral, yang sebelumnya merupakan danau terbesar keempat di dunia, kemudian dilanda kekeringan parah yang menguapkan begitu banyak airnya sehingga danau itu terbelah menjadi dua pada 1986.

Selama 80 tahun terakhir, Laut Aral telah kehilangan 1,1 miliar ton air, menurut penelitian baru yang diterbitkan pada 7 April 2025 di jurnal Nature Geoscience.

“Hilangnya massa air yang setara dengan 150 Piramida Agung Giza itu begitu signifikan sehingga awalnya menyebabkan kerak Bumi sedikit terpantul, seperti pegas terkompresi yang telah dilepaskan,” tulis Simon Lamb, profesor madya ilmu Bumi di Victoria University of Wellington di Selandia Baru, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Nature Geoscience bersamaan dengan penelitian tersebut.

“Karena berat air di danau akan menekan batuan di bawahnya, diantisipasi bahwa batuan ini akan terpantul dengan sebagian kecil dari kedalaman air asli saat beratnya dihilangkan,” tulis Lamb, yang tidak berpartisipasi dalam penelitian tersebut.

Namun penelitian baru tersebut mengungkapkan bahwa daratan masih naik beberapa dekade setelah air menguap. Tidak hanya itu, ada tonjolan terukur yang membentang jauh melampaui garis pantai asli Laut Aral.

Para ilmuwan mendeteksi tonjolan ini dengan teknik penginderaan jarak jauh satelit yang disebut radar apertur sintetis interferometrik, atau InSAR, yang mengukur perubahan halus di permukaan Bumi, termasuk deformasi yang diakibatkan oleh tonjolan atau depresi.

“Lingkungan gersang di wilayah Laut Aral, yang membentang di perbatasan antara Uzbekistan dan Kazakhstan, memudahkan untuk menangkap pergerakan kecil di tanah,” tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.

Pengukuran InSAR antara 2016 hingga 2020 menunjukkan daratan menggembung dalam radius 500 kilometer di sekitar pusat Laut Aral. Ketika para peneliti membandingkan ukuran tonjolan dari tahun ke tahun, mereka menemukan bahwa tonjolan tersebut telah tumbuh sekitar 7 millimeter tingginya setiap tahun selama periode penelitian.

“Pengangkatan tersebut kemungkinan besar terjadi karena mantel Bumi bereaksi terhadap penguapan Laut Aral,” kata para ilmuwan.

Mantel tersebut terbuat dari batuan kental yang dapat ‘mengalir’ untuk menggantikan material yang telah dipindahkan oleh berat batuan dan air di permukaan Bumi. Misalnya, batuan mantel saat ini mengalir menuju Skandinavia untuk menggantikan material yang terdorong ke samping oleh berat lapisan es yang sangat besar selama Zaman Es terakhir.

“Laut Aral, meskipun tidak pernah terlalu dalam, pada masa kejayaannya cukup lebar sehingga beratnya dapat dirasakan di Bumi pada kedalaman puluhan hingga ratusan kilometer,” kata Lamb.

“Hal ini karena lapisan batuan dingin terluar yang kuat tidak dapat menahan berat badan air yang begitu luas tanpa sedikit tenggelam ke dalam batuan yang lebih panas dan lebih lemah di bawahnya,” sambungnya.

Pengangkatan wilayah Laut Aral, yang totalnya mencapai 40 mm antara 2016 hingga 2020, akan terus berlanjut selama beberapa dekade, menurut penelitian tersebut.

“Pengangkatan tersebut menyoroti potensi aktivitas manusia untuk memengaruhi dinamika Bumi bagian dalam. Saat ini, Laut Aral hanyalah sisa-sisa dari dirinya yang dulu,” tulis para peneliti.

Ketinggian air sangat rendah pada tahun 2007 sehingga salah satu dari dua danau yang terbentuk pada 1986 terbelah lagi menjadi dua. Pada 2020, salah satu dari tiga cekungan yang tersisa menghilang sepenuhnya.

Penulis studi mencatat, kekeringan Laut Aral telah berdampak besar pada wilayah tersebut, termasuk penggurunan dan kekeringan yang lebih parah. Bencana lingkungan ini dijuluki ‘Chernobyl yang tenang’ pada 2014 karena dampak ekologis dan ekonominya yang meluas.