Setelah lebih dari delapan dekade menjadi teka-teki, para ilmuwan akhirnya berhasil menemukan penjelasan mengapa atmosfer luar Matahari, atau korona, jauh lebih panas dibandingkan permukaannya. Fenomena yang dikenal sebagai coronal-heating problem ini kini menemukan titik terang berkat pengamatan langsung terhadap gelombang magnetik misterius di atmosfer Matahari.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy tersebut menandai terobosan besar dalam bidang fisika matahari. Tim ilmuwan internasional berhasil mendeteksi secara langsung gelombang magnetik kecil yang disebut gelombang Alfvén, dinamai dari fisikawan pemenang Nobel, Hannes Alfvén, yang pertama kali memprediksinya pada tahun 1942.
Gelombang Alfvén merupakan gangguan magnetik yang membawa energi melalui plasma-gas panas bermuatan listrik yang menjadi penyusun utama Matahari. Sebelumnya, ilmuwan hanya dapat mendeteksi versi besar gelombang ini yang berkaitan dengan ledakan besar di permukaan Matahari, seperti solar flare. Namun kini, untuk pertama kalinya, bentuk kecil dan konstan dari gelombang ini berhasil diamati secara langsung.
Menurut Profesor Richard Morton, peneliti utama dari Northumbria University di Inggris, temuan ini mengakhiri pencarian panjang yang dimulai sejak 1940-an. “Kami akhirnya bisa mengamati secara langsung gerakan torsi yang memutar garis medan magnet di korona Matahari,” ujarnya.
Terobosan ini dimungkinkan berkat kemampuan Daniel K. Inouye Solar Telescope di Hawaii, teleskop Matahari paling kuat di dunia dengan cermin berdiameter empat meter. Instrumen canggihnya, Cryogenic Near Infrared Spectropolarimeter (Cryo-NIRSP), memungkinkan ilmuwan mengukur pergerakan plasma panas hingga 1,6 juta derajat Celsius dengan detail luar biasa.
Untuk menemukan gelombang torsi tersebut, Morton mengembangkan teknik baru yang memisahkan berbagai jenis gerakan plasma dalam data pengamatan. “Gerakan plasma di korona didominasi oleh gerakan mengayun, yang menutupi gerakan torsi. Saya harus menemukan cara untuk menghapus sinyal itu agar bisa melihat gerakan berputarnya,” jelasnya.
Sementara gelombang “kink” yang lebih dikenal membuat seluruh struktur magnetik bergoyang, gelombang Alfvén yang baru terdeteksi menghasilkan putaran halus yang hanya dapat diidentifikasi melalui pergeseran spektrum cahaya merah dan biru di sisi berlawanan dari struktur magnetik-tanda khas gerakan menuju dan menjauhi Bumi.
Penemuan ini dapat menjadi kunci untuk menjelaskan mengapa korona Matahari bisa mencapai suhu lebih dari satu juta derajat Celsius, sementara permukaannya hanya sekitar 5.500°C. Gelombang magnetik berputar ini diyakini menyalurkan dan melepaskan energi magnetik ke seluruh korona, memanaskan plasma, dan turut menggerakkan solar wind-aliran partikel bermuatan yang membentuk cuaca antariksa.
Memahami cara kerja gelombang ini tak hanya memperdalam wawasan tentang dinamika Matahari, tetapi juga berpotensi meningkatkan kemampuan manusia memprediksi aktivitas Matahari yang dapat memengaruhi sistem GPS, satelit, hingga jaringan listrik di Bumi.
Riset ini merupakan kolaborasi global yang melibatkan peneliti dari Northumbria University, Peking University, KU Leuven, Queen Mary University of London, Chinese Academy of Sciences, dan National Solar Observatory Amerika Serikat.
“Penelitian ini memberikan bukti penting yang mendukung teori tentang bagaimana turbulensi gelombang Alfvén memanaskan atmosfer Matahari,” kata Morton dikutip dari Skynight Magazine. “Dengan pengamatan langsung, kita kini dapat menguji teori-teori tersebut secara nyata.”
