Kabel Laut Vs Satelit: Penjelasan Telkom Soal Akses Internet di Papua Selatan

Posted on

Teknologi satelit memang makin populer, namun kabel laut masih menjadi tulang punggung utama konektivitas digital di Indonesia, termasuk di Papua Selatan. Kabel laut memiliki keunggulan dapat mengangkut lalu lintas data dalam jumlah besar. Hal ini belum dapat diberikan oleh satelit.

Executive Vice President Telkom Regional V Amin Soebagyo, dalam kunjungannya ke Merauke menjelaskan hal ini saat menjawab pertanyaan, mengapa Telkom lebih memilih membangun Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Papua Selatan 2 (Pasela 2) untuk memperkuat infrastruktur digital di kawasan paling timur Indonesia tersebut, padahal SKKL Pasela 1 yang sudah ada rawan putus akibat faktor alam dan aktivitas manusia.

Menurut Amin, fiber optik merupakan teknologi komunikasi paling diandalkan saat ini, terutama dari sisi kapasitas dan kecepatan. “Fiber optik bekerja dengan kecepatan cahaya, sekitar 310 ribu km per info, sehingga menjadi media transmisi data paling cepat yang kita miliki,” ujarnya.

Teknologi ini, lanjut Amin, juga unggul dari sisi bandwidth dan stabilitas. Namun, penyambungan antar-ruas kabel laut membutuhkan presisi tinggi karena pantulan cahaya di dalam serat optik tidak boleh meleset sedikit pun.

Meski Telkom juga memanfaatkan jaringan satelit untuk mendukung konektivitas di wilayah terpencil, kapasitas yang bisa ditampung jauh lebih kecil dibandingkan fiber optik.

Amin mencontohkan, saat kabel laut Papua mengalami gangguan beberapa waktu lalu, trafik normal sebesar 73 Gbps hanya bisa dipulihkan sekitar 15,2 Gbps melalui jaringan satelit.

“Kami bekerja sama dengan Telkomsat dan Starlink untuk backup, tapi proses penyiapannya butuh waktu dan kapasitasnya terbatas,” jelasnya.

Selain keterbatasan kapasitas, satelit juga memiliki latensi lebih tinggi, yaitu jeda waktu antara pengiriman dan penerimaan data. Kondisi ini membuat komunikasi real-time seperti video conference atau transaksi digital menjadi kurang optimal.

“Satelit itu penting, tapi tetap bukan solusi utama. Selain latensi tinggi, biaya per unitnya juga sangat mahal. Setiap hari ada 2-5 satelit yang jatuh ke Bumi karena gravitasi dan usia pakai,” tambahnya.

Pemasangan kabel optik di Papua tidak lepas dari tantangan kontur medannya. Kondisi geografis dengan banyak sungai dan wilayah yang belum memiliki akses jalan membuat pemasangan kabel darat sulit dilakukan. Karena itu, sejak 2018 Telkom mulai menggelar SKKL di wilayah Papua.

Namun, gangguan fisik tetap menjadi risiko. Berdasarkan data Telkom, sekitar 50% gangguan SKKL disebabkan oleh aktivitas kapal, seperti jangkar dan alat tangkap berat, sedangkan sisanya akibat faktor alam seperti gempa Bumi atau pergeseran lempeng.

Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, Telkom kini menyiapkan pembangunan jaringan kabel laut Papua Selatan 2 yang ditargetkan rampung pada Juni 2028. Proyek ini akan menjadi jalur cadangan sekaligus memperkuat kapasitas konektivitas digital di kawasan timur Indonesia.

“Investasinya besar, tapi dampak ekonominya juga besar. Fiber optik saat ini masih menjadi teknologi paling efisien untuk membawa trafik data berkapasitas besar dengan kecepatan tertinggi,” tegas Amin.

Dengan demikian, kabel laut dan satelit sama-sama berperan penting dalam pemerataan akses digital di Indonesia. Namun, untuk kebutuhan utama dengan kapasitas tinggi dan latensi rendah, fiber optik tetap menjadi pilihan paling andal, terutama di wilayah strategis seperti Papua Selatan yang sedang bersiap menuju kemandirian digital

Satelit untuk Cadangan

Tantangan Kontur Papua

Telkom Gelar Pasela 2