Tuvalu, negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik, terancam tenggelam karena perubahan iklim. Ribuan warganya berniat mengungsi ke Australia sebelum tempat tinggalnya hilang ditelan laut.
Hampir sepertiga warga Tuvalu mencari visa Australia untuk kabur dari air laut yang terus naik. Visa ini diluncurkan pada tahun 2023 sebagai bagian dari perjanjian bilateral antara Australia dan Tuvalu.
Australia akan menawarkan 280 visa per tahun dan pendaftaran tahap pertama sudah dibuka pada 16 Juni kemarin dan akan ditutup pada 18 Juli. Visa itu akan diberikan secara acak menggunakan sistem lotre.
Menurut sensus yang dilakukan tahun 2022, Tuvalu memiliki 10.643 penduduk. Data resmi yang dikumpulkan pemerintah Australia menemukan 3.125 Tuvalu mendaftar untuk mendapatkan visa tinggal baru hanya empat hari setelah pendaftaran dibuka.
Pendaftar yang berhasil mendapatkan visa akan mengetahui hasil lotre pada akhir Juli, dan kelompok imigran pertama akan tiba di Australia pada akhir tahun ini. Setibanya di Australia, warga Tuvalu pemegang visa bisa langsung mendapatkan akses pendidikan, asuransi kesehatan Medicare, asuransi disabilitas (NDIS), subsidi pengasuhan anak, dan sederet bantuan lainnya.
Pemerintah Australia mengatakan perjanjian visa berbasis perubahan iklim seperti ini adalah yang pertama dan satu-satunya di dunia.
“Australia mengakui dampak buruk perubahan iklim terhadap mata pencaharian, keamanan, dan kesejahteraan negara dan masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim, terutama di kawasan Pasifik,” kata Kementerian Luar Negeri Australia, seperti dikutip dari Gizmodo, Minggu (29/6/2025).
Tuvalu terancam tenggelam karena rata-rata ketinggiannya kurang dari 3 meter di atas permukaan laut. Peneliti NASA memprediksi Tuvalu dan negara-negara kepulauan di Pasifik lainnya akan mengalami kenaikan permukaan air laut hingga 15cm dalam 30 tahun ke depan.
Sejumlah studi mengindikasikan sebagian besar pulaunya menjadi tidak layak huni karena banjir, intrusi air laut, gelombang badai, dan erosi sebelum akhir abad ini.
Funafuti, ibukota Tuvalu dan atol dengan populasi terbanyak, sudah mengalami kenaikan permukaan air laut sekitar 14cm dalam tiga dekade terakhir. Funafuti adalah rumah dari 60% populasi Tuvalu, dan ilmuwan memprediksi setengah dari areanya akan tenggelam karena ombak harian pada tahun 2050.
Warga Tuvalu sudah mulai merasakan dampak dari kenaikan permukaan air laut. Air laut yang terus-terusan naik ke darat telah mencemari lahan pertanian dan air tanah di negara itu, sehingga warganya harus bergantung kepada tangki pengumpul air hujan dan meninggikan kebun. Hal ini membuat negara kepulauan itu lebih rentang terhadap kekeringan, kekurangan air, dan wabah penyakit.