Praktik hangusnya kuota internet yang diterapkan oleh operator seluler menjadi sorotan, termasuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Ketua BPKN Muhammad Mufti Mubarok mengungkapkan terkejutnya terkait praktik hangusnya kuota internet yang tidak terpakai oleh konsumen. Menurut BPKN itu tidak adil, sebab konsumen sudah membayar penuh dan berhak mendapatkan manfaat atas produk dan layanan yang dibayarkan.
“Jika kuota yang sudah dibayar hangus tanpa adanya kompensasi atau mekanisme rollover yang adil, ini dapat dianggap sangat merugikan konsumen dan bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen, khususnya terkait hak atas informasi yang jelas dan perlakuan yang adil,” tutur Mufti dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/6/2025).
Mufti mengatakan pihaknya telah menerima data pengaduan praktik hangus kuota internet sebanyak 197 kasus. BPKN tentunya akan menerima dan memantau aduan-aduan dari konsumen.
“Kami melihat poin fleksibilitas dalam penggunaan kuota adalah yang dominan, di mana pola pengaduan umumnya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara ekspektasi konsumen dan kebijakan operator, serta minimnya informasi yang transparan mengenai aturan hangusnya kuota, termasuk yang berkaitan dengan kuota internet hangus,” ucapnya.
Disampaikan Mufti bahwa ada dua pola kasus yang menonjol, yaitu sisa kuota lama hangus saat pembelian kuota baru dan quota lama hilang tanpa sebab.
“Pada kenyataannya praktik kuota hangus yang tidak disertai pemberian informasi yang jelas dan tidak adanya opsi yang adil bagi konsumen melanggar prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terutama mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan jasa, serta hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur,” jelasnya.
Lebih lanjut, BPKN aktif mendorong dialog antara pemerintah, regulator, operator seluler, dan asosiasi konsumen untuk menciptakan skema layanan data yang lebih adil dan transparan. Kami berupaya menyampaikan aspirasi konsumen dalam forum-forum kebijakan, serta memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan agar perlindungan konsumen dalam layanan digital, khususnya layanan internet, dapat diperkuat.
Mufti menambahkan, BPKN memberikan lima rekomendasi agar kejadian hangusnya quota ini tidak terulang terutama pada pemerintah dan operator seluler.
Pertama, Mengatur secara jelas dan tegas ketentuan masa berlaku dan mekanisme rollover kuota internet, sehingga konsumen mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang adil.
Kedua, Mewajibkan operator untuk memberikan informasi yang transparan dan mudah dipahami mengenai ketentuan penggunaan kuota dan konsekuensi apabila kuota tidak digunakan.
Ketiga, Memfasilitasi pengembangan skema layanan yang lebih fleksibel, seperti akumulasi kuota atau refund atas kuota yang tidak terpakai, demi menghindari kerugian konsumen secara sistemik.
Keempat, Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik yang merugikan konsumen di sektor telekomunikasi.
Kelima BPKN RI akan meminta pertanggungjawaban operator akan terus berkomitmen memperjuangkan hak-hak konsumen agar layanan digital, termasuk kuota internet, dapat dinikmati secara adil dan transparan oleh seluruh masyarakat. Ia mendorong konsumen melakukan class action terhadap operator yang merugikan rakyat atau konsumen.
Diberitakan sebelumnya, Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap potensi kerugian negara mencapai Rp 63 triliun per tahun karena kuota hangus internet yang tidak sempat dipakai oleh konsumen.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) buka suara. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif ATSI Marwan O. Baasir.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
ATSI dan seluruh anggotanya selalu berkomitmen pada prinsip tata kelola yang baik dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Penetapan harga, kuota, dan masa aktif layanan prabayar telah sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu Pasal 74 Ayat 2 M Kominfo No. 5 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan.
“Ini juga sejalan dengan ketentuan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, yang menegaskan bahwa pulsa bukan merupakan alat pembayaran sah maupun uang elektronik, sehingga juga sudah dikenakan PPN sebagaimana barang konsumsi lainnya,” ungkapnya.