Pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) membawa tantangan baru yang tak terhindarkan bagi dunia pendidikan dan perkembangan anak di Indonesia.
Meskipun AI memiliki potensi untuk memperkuat sistem pembelajaran, tanpa kesiapan yang memadai, teknologi ini justru berisiko menciptakan kesenjangan kognitif dan etis yang berbahaya bagi generasi mendatang. Hal itu yang mesti dipahami oleh masyarakat, terutama para orang tua.
Menurut laporan Readiness Assessment Methodology UNESCO (2024), Indonesia dinilai belum sepenuhnya siap dalam mengadopsi AI secara menyeluruh. Salah satu sorotan utama adalah ketidaksiapan sumber daya manusia, baik dari kalangan pelajar, pendidik, masyarakat umum, industri, maupun pemerintahan. Mereka masih belum mampu memahami, menggunakan, dan mengawasi AI secara etis dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, Diena Haryana, Founder Sejiwa Foundation, menekankan pentingnya penguatan karakter dan life skill sejak usia dini sebagai pondasi utama dalam menghadapi disrupsi teknologi. Disampaikannya, anak-anak bisa sangat mudah larut dalam dunia digital. Apalagi dengan kehadiran AI yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menarik perhatian mereka, entah lewat game, chatbot, atau konten kreatif lainnya.
“Kalau tidak hati-hati, ini bisa mengikis kemampuan dasar mereka untuk bersosialisasi, mengurus diri sendiri, bahkan sekadar tidur dengan cukup. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak tumbuh tanpa life skills, tanpa keterampilan sosial, dan kehilangan sisi manusianya,” ujar Diena, Jumat (30/5/2025).
Menurut Diena, sebelum mengenalkan AI, anak-anak perlu terlebih dahulu dibekali kemampuan mendasar seperti; life skills, social skills, physical skills, dan spiritual skills yang kuat. Tanpa itu, teknologi justru bisa mengikis sisi kemanusiaan mereka dan menjadikan mereka “less human.”
Lebih lanjut, Diena menekankan teknologi harus dikuasai oleh manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, sejak dini, anak-anak harus dilatih untuk mencintai kehidupan, terhubung dengan lingkungan sekitar, dan dibekali dengan kebutuhan untuk berinteraksi secara nyata, sebelum teknologi digital diberikan sebagai alat bantu.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Disrupsi pada Dunia Pendidikan dan Perkembangan Anak
Penggunaan AI di sektor pendidikan ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan personalisasi pembelajaran, efisiensi, dan akses informasi yang nyaris tak terbatas. Namun di sisi lain, ketergantungan pada AI tanpa pendampingan yang memadai pada anak, justru berisiko mengurangi ruang eksplorasi, interaksi sosial, hingga empati yang sangat penting dalam tahap perkembangan anak.
Diena menegaskan bahwa peran keluarga sangat penting sebagai pelindung, pengarah, sekaligus pendamping dalam mengenalkan teknologi bagi anak.
“Sebelum dikenalkan dengan teknologi, anak-anak perlu terlebih dahulu dibekali dengan keterampilan dasar seperti berpikir kritis, empati, kedisiplinan, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi fondasi karakter dan membentuk mereka sebagai manusia seutuhnya,” tuturnya.
Dalam konteks pendidikan formal dan informal, Diena menyoroti pentingnya pendekatan bertahap (gradual approach) yang tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada konsep unggul dan tangguh dalam perkembangan anak.
“Kita harus terlebih dahulu membangun ketertarikan anak pada dunia nyata. Baru kemudian memperkenalkan keterampilan digital yang relevan,” ucapnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan karakter yang menyeluruh melalui penguatan keterampilan dasar: keterampilan hidup, keterampilan fisik, sosial, dan spiritual.
Teknologi yang Berpihak pada Anak
Menanggapi disrupsi yang ditimbulkan oleh teknologi, Diena mengatakan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan perkembangan anak. Ia mengingatkan adopsi teknologi, khususnya AI, tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Pengaplikasiannya harus dilandasi pendekatan yang bijak dan berpihak pada kepentingan anak.
“Izinkan anak-anak kita membangun keunggulan dan ketangguhan diri terlebih dahulu dalam hidup secara menyeluruh, baru kemudian diperkuat dengan teknologi digital,” kata Diena.
Menurut Diena, pembangunan karakter anak harus menjadi fondasi utama. AI harus diposisikan sebagai alat bantu dalam proses pendidikan dan kehidupan, bukan sebagai pengganti interaksi nyata dan pengalaman hidup yang esensial.
Ia juga mengungkapkan pentingnya kolaborasi multipihak untuk menciptakan ekosistem AI yang aman dan sehat bagi generasi muda. Pemerintah, industri, institusi pendidikan, serta keluarga memegang peran strategis dalam memastikan bahwa teknologi berfungsi sebagai pendukung, bukan penghambat tumbuh kembang anak.