Seiring dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang memiliki kemampuan canggih, membuat rasa cemas bahwa ke depannya akan menggantikan peran manusia.
Berdasarkan survei terhadap lebih dari 1.100 konsumen Asia Tenggara, whitepaper terbaru SleekFlow mengungkap bahwa 75% responden lebih memilih AI yang mendukung, bukan menggantikan peran manusia.
SleekFlow, perusahaan platform percakapan omnichannel berbasis AI, mencoba menjawab pertanyaan itu lewat peluncuran AgentFlow sebuah sistem AI yang tidak dirancang untuk menjawab semua hal, tetapi untuk tahu kapan ia perlu berhenti dan menyerahkan kendalinya kembali ke manusia.
“Kesalahan dalam layanan pelanggan tidak selalu soal teknologi, tapi tentang hubungan. Karena itu, AgentFlow dibuat untuk membantu, bukan menggantikan manusia sepenuhnya,” ujar Asnawi Jufrie, VP & GM SleekFlow Asia Tenggara.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Dalam whitepaper yang diterbitkan SleekFlow berjudul “AI Transformation in SEA: Aligning Consumer Demands with Business Goals”, bahkan di Indonesia, angka ini mencapai 75%.
AI masih dipercaya untuk urusan praktis seperti pelacakan pesanan atau hanya sekadar pencarian produk. Namun untuk beberapa kasus yang bersifat sensitif seperti keluhan pelanggan, pertanyaan kompleks, hingga percakapan emosional responden menyatakan lebih memilih interaksi dengan manusia.
Temuan ini menjadi dasar peluncuran AgentFlow, sistem AI berbasis etika yang dirancang untuk tahu kapan harus berhenti dan mengalihkan kendali ke manusia ketika diperlukan.
Sebagian besar konsumen mengandalkan AI untuk sekadar interaksi sederhana, namun tetap menginginkan interaksi manusia dalam situasi yang lebih kompleks dan emosional.
Sedangkan, menurut laporan AI Maturity Matrix oleh Boston Consulting Group, lebih dari 70% negara termasuk Indonesia belum memiliki kesiapan struktural yang memadai dalam menghadapi disrupsi AI, termasuk dalam aspek keterampilan, kebijakan, dan investasi jangka panjang.
Laporan yang sama juga mencatat bahwa penggunaan AI secara kolaboratif justru lebih efektif: konsultan BCG yang menggunakan GenAI dalam proyek nyata terbukti 20% lebih baik performanya pada tugas di luar keahlian mereka.
Temuan-temuan ini sejalan dengan keyakinan SleekFlow bahwa AI yang bertanggung jawab harus memberi ruang bagi supervisi serta tetap dikontrol manusia. AgentFlow menjadi bentuk komitmen terhadap pendekatan ini, bukan hanya menunggu regulasi datang, tapi memimpin inisiatif etika sejak awal.
“Kepercayaan itu tumbuh saat kita tahu batas kemampuan kita. Kami percaya, AI yang bisa dipercaya adalah AI yang tahu kapan harus berhenti dan memberi ruang untuk manusia. AgentFlow lahir dari prinsip itu” Asnawi Jufrie, VP & GM SleekFlow Asia Tenggara.